BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pemahaman tentang stres dan akibatnya penting
bagi upaya pengobatan maupun pencegahan banyak gangguan kesehatan jiwa. Stres
diakibatkan oleh adanya perubahan-perubahan diantaranya perubahan nilai budaya,
perubahan sistem kemasyarakatan, pekerjaan serta akibat ketegangan antara
idealisme dan realita (Suliswati, 2005 ; 22).
Stres adalah realita kehidupan setiap hari
yang tidak dapat dihindari. Stres bukan sesuatu hal yang buruk dan menakutkan,
tetapi merupakan bagian kehidupan. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak
lepas dari stres, masalahnya adalah bagaimana hidup beradaptasi dengan stres
tanpa harus mengalami distres
(Suliswati, 2005 ; 22).
Gangguan makan yang
awalnya hanya dianggap sebagai masalah umum dalam masyarakat, bukanlah hanya
sekedar gangguan biasa melainkan membutuhkan berbagai penanganan secara
holistik dan pencegahan sedini mungkin untuk mencegah permasalahan menjadi
meluas sehingga mengakibatkan komplikasi yang lebih parah pada organ tubuh
lainnya.
Menurut penelitian dari
Universitas Florida di Gaines-ville, Amerika Serikat, makan akan mengaktifkan
hipotalamus (bagian otak yang akan member sinyal kenyang), 10 menit sesudahnya.
Tetapi pada pederita obesitas mekanisme ini tidak bekerja dengan baik sehingga
mereka selalu makan dengan porsi yang jauh lebih banyak daripada orang yang
tidak obesitas (Misnadiarly. 2007;10).
B.
Tujuan Penulisan
1. Mampu memahami dan menjelaskan Model Konsep Stres Adaptasi
Menurut Stuart.
2. Mampu memahami dan menjelaskan Konsep dan Penanganan pada
Pasien dengan Eating Disorder (Gangguan
Makan).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Model Konsep Stres Adaptasi menurut
Stuart
Report of the Surgeon General on
Mentar Health adalah laporan dokter bedah umum yang pertama kali
membicarakan topik kesehatan jiwa dan gangguan jiwa. Laporan ini berdasarkan
kajian literatur ilmiah yang cukup banyak dan konsultasi dengan pemberi dan
penerima layanan kesehatan jiwa (Stuart, Gail W. 2006; 25).
1. Definisi kesehatan jiwa dan gangguan jiwa
Sehat-sakit dan adaptasi-maladaptasi merupakan konsep yang berbeda. Tiap konsep berada pada rentang yang
terpisah. Rentang sehat-sakit berasal dari sudut pandang medis. Rentang
adaptasi-maladaptasi berasal dari sudut pandang keperawatan. Jadi, seseorang
yang mengalami sakit baik fisik maupun jiwa dapat beradaptasi terhadap keaaaan
sakitnya. Sebaliknya, seorang yang tidak diagnosis sakit mungkin memiiliki
respons koping yang maladaptif. Kedua rentang ini menggambarkan modei praktit
keperawatan dan medis yang saling melengkapi (Stuart, Gail W. 2006; 25).
a. Kesehatan
Jiwa
Menurut Stuart, Gail W (2006; 25) hal-hal berikut ini telah
diidentifikasi sebagai kriteria kesehatan jiwa.
1)
Sikap positif terhadap diri sendiri.
2)
Pertumbuhan, perkeriibangan, dan
aktualisasi diri.
3)
Integrasi dan ketanggapan emosional
4)
Otonomi dan kemantapan diri
5)
Persepsi realitas yang akurat
6)
Penguasaan lingkungan dan kompetensi
sosial
b.
Gangguan Jiwa
Menurut Stuart, Gail W (2006; 26)
pengertian seseorang tentang gangguan jiwa berasal dari apa yang orang tersebut
yakini sebagai faktor penyebabnya. Hipotesis berikut ini telah di usulkan
sebagai penyebab gangguan jiwa:
1) Hipotesis biologi mengusulkan disfungsi
anatomi dan fisiologi.
2) Hipotesis pembelajaran mengusulkan pola
perilaku maladaptif yang dipelajari.
3) Hipotesisi kognitif mengusulkan
ketidaksesuaian atau defisit pengetahuan atau kesadaran.
4) Hipotesis psikodinamik mengusulkan
konflik intrapsikis dan defisit perkembangan.
5) Hiporesis lingkungan mengusulkan stresor
dan respons terhadap penolakan lingkungan.
2. Model praktik konseptual
Banyak profesional kesehatan jiwa
melakukan praktikk dalam kerangka model konseptual. Model adalah suatu cara
mengorganisasi kumpulan pengetahuan yang kompleks seperti konsep yang
berhubungan dengan perilaku manusia. Penggunaan model ini membantu klinis
mengembangkan dasar untuk melakukan pengkajian dan intervennsi, juga memberikan
cara untuk mengevaluasi keefektifan terapi. Beberapa model konseptual
dikembangkan dalam praktik psikiatri.
Model dan ahli teori yang terkiit, pandangan mereka tentang penyimpangan
perilaku, proses terapeutik, serta peran
pasien dan ahli terapi (Stuart, Gail W. 2006; 26).
3. Model adaptasi stres pada asuhan keperawatan jiwa Menurut Stuart
Menurut Stuart, Gail W (2006; 26) perawat jiwa dapat bekerja lebih
efektif jika tindakan mereak didasarkan pada suatu model yang mengenali adanya
sehat atau sakit sebagai hasil dari berbagai karakteristik individu yang
berinteraksi dengan faktor lingkungan. model Adaptasi Stres pada asuhan
keperawatan jiwa menurut Struart mengintegrasikan aspek biologis, psikologis,
sosiokultural, lingkungan, dan legal-etik keperawatan ke dalam kerangka praktik
yang utuh. Model ini menggabungkan landasan teoretis, komponen biopsikososial,
rentang respons koping, dan aktivitas keperawatan berdasarkan tahap pengobatan
pasien: promosi
kesehatan, pemeliharaan, akut dan krisis.
4. Komponen biopsikososial
Menurut Stuart,
Gail W (2005; 64) model ini terdiri atas komponen berikut:
a.
Faktor Predisposisi
faktor predisposisi yaitu faktor resiko
yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat digunakan individu untuk
mengatasi stres, faktor predisposisi terdiri dari:
1)
Biologis
Dapat mempengaruhi stres pada lansia yang
dilihat dari: faktor keturunan, status nutrisi dan kesehatan.
2)
Psikologis
Psikologi meliputi: kemampuan verbal,
pengetahuan moral, personal terhadap diri sendiri, dorongan motivasi.
3)
Sosiokultural
Menurut sosiokultural meliputi:
faktor-faktor umur, jenis kelamin, pekerjaan, posisi sosial, latar belakang
budaya, agama, serta pengetahuan.
b.
Stresor Prespitasi
Stresor Prespitasi yaitu stimulus yang
dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan, ancaman, atau tuntutan dan yang
membutuhkan energi ekstra untuk koping. yang terdiri yaitu:
1)
Sifat yaitu bagaimana seorang lansia
tersebut menghadapi tantangan/ancaman tersebut baik yang datang dari internal
maupun eksternal.
2)
Asal yaitu
ancaman/tantangan itu sendiri berasal dari keluarga itu sendiri apa lingkungan.
3)
Waktu yaitu kapan waktu
ancaman/tantangan itu datang yang dapat mengancam lansia tersebut.
4)
Jumlah yaitu beberapa banyak jumlah
ancaman itu yang datang kepada lansia.
c.
Penilaian terhadap stesor
Penilaian terhdapa stesor yaitu evaluasi
tentang makna stresor bagi kesejahteraan individu yang di dalamnya stresor
memiliki arti, intensitas, dan kepentingan, yang terdiri dari:
1)
Kognitif yaitu
respons yang ditunjukkan seperti perhatian terganggu, konsentrasi buruk,
pelupa, bermasalah dalam berpikir dan kreativitas menurun.
2)
Afektif yaitu
respons yang ditunjjukan seperti mudah
terganggu, tidak sabaran, mudah gelisah, tegang, gugup dan ketakutan.
3)
Fisiologis yaitu
respons yang ditunjukkan seperti kehilangan kesadaran, produktivitas menurun,
ketegangan fisik dan tremor.
4)
Perilaku yaitu respons yang ditunjukkan
seperti bicra cepat, kurang koordinasi, gelisah dan reaksi terkejut.
5)
Sosial yaitu respons yang ditunjukkan
interaksi dengan orang lain.
d.
Sumber koping
Stuart, Gail W (2005; 68) menyebutkan
sumber koping merpakan cara individu menanggulangi stres juga sangat bergantung
pada sumber yang tersedia dan pembatas-pembatas yang menghambat penggunaan
sumber koping dalam konteks peristiwa tertentu.
Sumber-sumber koping terdiri dari aset
ekonomi, kemampuan dan bakat, teknik pertahanan, dukungan sosial, dukungan
spiritual, keyakinan positif, pemecahan masalah, kemampuan sosial, kesehatan
fisik, sumber materi sosial (Stuar, Gail W. 2005; 68).
Keyakinan spiritual dan pandangan
seseorang yang positif dapat ditujukan sebagai dasar dari harapan dan dapat
membenarkan upaya koping seseorang dalam keadaan yang paling merugikan.
Kemampuan pemecahan masalah termasuk kemampuan untk mencari informasi,
mengidentifikasi masalah,
menimbang satu pilihan, dan implementasi rencana tindakan. Kemampuan sosial memudahkan
pemecahan masalah termasuk masalah orang lain, meningkatkan kemungkinan ketja
sama dan dukungan tersebut. Aset materi menunjukkan kepaa uang, barang dan jasa
dimana uang dapat membeli segalanya. Jelas sekali bahwa sumber keuangan sangat
meningkat pada pilihan koping seseorang dimana hampir dalam situasi stres
apapun (Stuar, Gail W. 2005; 68).
Pengetahuan dan kecerdasan adalah
sumber-sumber koping lainnya yang membolehkan orang-orang untuk melihat
perbedaan cara dalam menghadapi stres. Sumber-sumber koping juga termasuk
komitemne kekuatan indektitas ego kepada jaringan sosial. Kseimbangan budaya,
sistem yang stabil dari nilai
dan kepercayaan, orientasi pencegahan kesehatan dan generik atau kekuatan gerakan
badan (Stuar, Gail W. 2005; 68).
e.
Mekanisme koping
Mekanisme koping yaitu tiap upaya yang ditujukan
untuk pentalaksanaan stres, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan
mekanisme pertahanan ego yang digunakan untuk melindungi diri.
Menurut Stuart, Gail W (2005; 68)
menyatakan bahwa dalam menghadapi stressor ada tiga macam jenis koping, yaitu:
1)
Koping yang berpusat pada masalah
Mekanisme koping yang berpusat pada
masalah diarahkan untuk mengurangi tuntutan-tuntutan situasi yang menimbulkan
stres atau mengembangkan sumber daya untuk mengatsinya.
2)
Koping yang berpusat pada kognitif
Dimana seseorang berusaha untuk mengontrol
masalh dan menyelesaikannya. Contohnya termasuk perbandingan yang positif,
ketidak tahuan memilih, penggantian penghargaan, dan di evaluasi dari keinginan
akan tujuan.
3)
Koping yang berpusat pada emosi
Koping ini mengarah pada usaha reduksi,
pembatsan atau menghulangkan atau toleransi stres subjektif dari stres emosional yang muncul karena
adanya transaksi dengan lingkungan yang menyulitkan
f. Rentang
respons koping-rentang respons manusia yang adaptif sampai maladaptif.
g. Aktivitas tahap pengobatan-rentang fungsi
keperawatan yang berhubungan dengan tujuan pengobatan, pengkajian keperawatan,
intervensi keperawatan, dan hasil yang diharapkan.
Gambar 2.1 Komponen Biofisik dari Model
Adaptasi Stres menurut Stuart dalam Stuart, Gail W (2006; 27).
Tabel 2.2
Model (Ilmual
Terkemuka)
|
Pandangan
tentang penyimpangan perilaku
|
Proses
terapeutik
|
Peran pasien
ahli terapi
|
Psikoanalitis
(S. Freud, Erikson, Klein, Hoeney, Fromm-Reich-mann, Menninger)
|
Perilaku
didasarkan pada awal perkembangan dan resolusi konflik perkembangan yang
tidak adekuat. Pertahanan ego, tidak dapat mengontrol ansietas. Gejala timbul
akibat upaya mengatasi ansietas dan berhubungan dengan konflik yang tidak
terselesaikan.
|
Psikoanalisis
menggunakan teknik asosiasi bebas, dan analisis mimpi. hal ini
menginterpretasi perilaku, menggunakan transferens untuk memperbaiki
pengalaman traumatik terdahulu, dan mengidentifikasi area masalah melalui
interpretasi resistens pasien.
|
Pasien
mengungkapkan semua pikiran dan mimpi serta mempertimbangkan interpretasi ahli
terapi. Ahli terapi tetap mengupayakan perkembangan transferens dan
menginterpretasi pikiran dan mimpi pasien dalam hal konflik transferens, dan
resistens.
|
Interpersonal
(Sullivan, Peplau)
|
Ansietas
timbul dan dialami secaraa interpersonal. Rasa takut yang mendasar adalah
takut terhadap penolakan. Seseorang membutuhkan rasa aman dan kepuasan yang
diperoleh melalui hubungan interpersonal yang positif.
|
Hubungan
antara ahli terapi dan pasien membangun perasaan aman. Ahli terapi membantu
pasien membina hubungan saling percaya dan mendapatkan kepuasan
interpersonal. kemudian pasien dibantu untuk mengembangkan hubunga akrab di
luar situasi terapi.
|
Pasien
menceritakan kecemasan dan perasaannya kepada ahli terapi. Ahli terapi
menjalin hubungan akrab dengan pasien; menggunakan empati untuk merasakan
perasaan pasien, dan menggunkan hubungan sebagai suatu pengalaman
interpersonal korektif.
|
Sosial (Szasz,
Caplan)
|
Faktor sosial
dan lingkungan menimbulkan stres, yang menyebabkan ansietas, dan
mengakibatkan timbulnya gejala. Perilaku yang tidak dapat diterima
(menyimpang) diartikan secara sosial dan memenuhi kebutuhan sistem sosial.
|
Pasien dibantu
untuk menghadapi sistemsosial. intervensi krisis dapat digunakan. Manipulasi
lingkungan dan menunjukkan dukungan khusus juga diterapkan. Dukungan kelompok
sebaya dianjurkan.
|
Pasien secara
aktif menyampaikan masalahnya kepada ahli terapi dan bekerja sama dengan ahli
terapi untuk menyelesaikan masalahnya. Menggunakan sumber yang ada di
masyarakat. Ahli terapi mengkaji sistem sosial pasien menggunakan sumber yang
tersedia atau menciptakan sumber baru.
|
Eksistensial
(Peris, Glasser, Ellis, Rogers, Frankl).
|
Hidup akan
bermakana bila seseorang dapat mengalami dan menerima diri sepernuhnya.
Penyimpangan perilaku terjadi jika inidvidu gagal dalam upayanya menemukan
dan menerima diri. Menjadi diri sendiri dapat dialami melalui hubungan murni
dangan orang lain.
|
Individu
dibantu untuk mengalami kemurnian hubungan. Terapi sering dilakukan dalam
kelompok. Pasien dianjurkan untuk mengkaji dan menerima diri serta dibantu
untuk mengendalikan perilakunya.
|
Pasien
bertanggung jawab terhadap perilakunya dan berperan serta dalam suatu
pengalaman yang berarti untu mempelajari tenang diri yang sebenarnya. Ahli
terapi membantu pasien mengenal nilai diri. Ahli terapi mengklarifikasi
realitas situasi dan mengenalkan pasien tentang perasaan tulus dan kesadaran
diri.
|
Suportif
(Werman, Rockland).
|
Masalah
terjadi akibat faktor biopsikososial. Penekanan pada respons koping
maladaptif saat ini.
|
Uji coba realitas
dan tindakan peningkatan harga diri. Dukungan sosial diidentifikasi dan
respons koping yang adaptif dikuatkan.
|
Pasien
terlibat secara aktif dalam pengobatan. Ahli terapi menjalin hubungan yang
hangat dan empati dengan pasien.
|
Komunikasi
(Berne, Watzlawick)
|
Gangguan
perilaku terjadi jika pesan tidak disampaikan dengan jelas.Bahasa dapat
digunakan untuk merusak makan. Pesan dapat diteruskan secara serentak pada
beberapa tingkatan. Pesan verbal dan nonverbal mungkin tidak selaras.
|
Pola
komunikasi dianalisis dan umpan balik diberikan untuk mengklarifikasi area
masalah. Analisis transaksinal berfokus pada permainan dan belajar cara
berkomunikasi secara langsung tanpa sandiwara.
|
Pasien
mempelajari pola komunikasi, termasuk permainan, dan bekerja untuk mengklarifikasi
komunikasinya sen Wolpediri serta memvalidasi pesan dari orang lain. Ahli
terapi menginterpretasi pola komunikasi kepada pasien dan mengajarkan
prinsip-prinsip komunikasi yang baik.
|
Perilaku
(Bandura, -Pavlov, Wolpe, Skinner).
|
Perilaku dipelajari,
Penyimpangan terjadi karena individu telah membentuk kebiasaan perilaku yang
tidak diinginkan. Karena perilaku dipelajari, perilaku juga dapat tidak
dipelajari. Perilaku menyimpang dapat terus terjadi karena dapat mengurangi
ansietas. Jika demikian, perilaku lain yang mengurangi ansietas dapat menjadi
pengganti.
|
Terapi adalah
proses pendidkan. Penyimpangan perilaku tidak dihargai, perilaku yang lebih
produktif dikuatkan. Terapi relaksasi dan latihan asertif adalah pendekatan
perilaku.
|
Pasien mepraktikkan
teknik perilaku yang digunakan, melakukan pekerjaan rumah dan latihan
penguatan. pasien membantu mengembangkan hierarki perilaku. Ahli terapi
mengajarkan pasien tentang pendekatan perilaku, membantu mengembangkan
hierarki perilaku, dan menguatkan perilaku yang diinginkan.
|
Medis (Meyer,
Kraeplin, Spitzaer, Frances).
|
Gangguan
perilaku yang disebabkan oleh penyakit biologis. Gejala-gejala timbul akibat
kombinasi faktor-faktor fisiologis, genetik, lingkungan, dan sosial. Perilaku
menyimpang berhubungan dengan toleransi pasien terhadap stres.
|
Diagnosis
penyakit didasarkan pada kondisi yang ada dan informasi historis serta
pemeriksaan diagnostik. Pengobatan meliputi terapi somatik dan farmakologis
selain berbagai teknik interpersonal.
|
Pasien
mengikuti program terapi yang dianjurkan dan melaporkan efek terapi kepada
ahli terapi. pasien menjalani terapi jangka panjang jika diperlukan. Ahli
terapi menggunakan terapi somatik dan terapi interpersonal. Ahli terapi
menegakkan dan menentukan pendekatan terapeutik.
|
Sumber:
Stuart (2006; 28-31)
5.
Fakta
penting
tentang gangguan
jiwa
a. Keluasan
dan Keparahan Masalah
Menurut Stuart, Gail W ( 2006; 32)
keluasan dan keparahan masalah dalam gangguan jiwa adalah sebagai berikut :
1)
Spekhum menyeluruh gangguan jiwa memengaruhi
22% populasi dewasa tahun tertentu. Gambaran ini merujuk pada semua gangguan
jiwa dan dapat dibandingkan dengan gangguan fisik didefinisikan dengari sama
luas-nya (mis., gangguan pernapasan dialami oleh 50% orang dewasa ; penyakit
kardiovaskular diderita oleh 20% orang dewasa).
2)
Gangguan jiwa berat (yaitu
skizofrenia,.penyakit manik-depresif, dan bentuk depresi yang berat, gangguan
panik, serta obsesif-kompulsif)
mempengaruhi 2,8% populasi dewasa (lebih krang 5 juta penduduk) dan bertanggung
jawab untuk 25 % dana yang dikeluarkan pemerintah untuk disabilitas.
3)
Sedikitnya 7,5 juta anak-anak di Amerika
Serikat berusia di bawah 18 tahun mengalami masalah kesehatan jiwa yang cukup
berat sehinngga memerlukan terapi.
4)
Lebih kurang l8 juta penduduk di Amerika
Serikat berusia 18 tahun dan yang lebih tua mengalami masalah akibat
penggun.aan alkohol; 10,6 juta dari mereka menderita alkoholisme.
5)
Kebanyakan individu yang kecanduan
alkohol mengalami kemajuan dalam terapi dan membuktikan bahwa terapi
alkoholisme efektif dengan dana yang memadai dalam sistem perawatan kesehatan
dan produktivitas tenaga kesehatan yang meningkat.
6)
Diperkirakan 23 juta penduduk di Amerita
Serikat saat ini menggunakan obat terlarang.
b.
Kefektifan Terapi
Seberapa efektif
terapi.pada gangguan jiwa yang berat dibandingkan dengan terapi pada penyakit
fisik? (Tabel 2.3)
Gangguan
|
Angka
Keberhasilan Terapi (1%)
|
Panik
|
80
|
Bipolar
|
80
|
Depresi
Mayor
|
65
|
Skizofrenia
|
60
|
Obsesif-kompulsif
|
60
|
Terapi
kardiovaskular :
Aterektomi
Angioplasti
|
52
41
|
Sumber : National Advisory Mental Healt
Council: Am J Psychiatry 150: 1447, 1993 dalam Stuart, Gail W (2006; 32).
6. Tahap aktivitas pengobatan
keperawatan jiwa
Berikut ini adalah tahap aktivitas
pengobatan keperawatan jiwa menurut Stuart (2006; 33) antara lain (Tabel 2.4) :
Tahap pengobatan
|
Tujuan pengobatan
|
Pengkajian keperawatan
|
Intervensi keperawatan
|
Hasil yang diharapkan
|
Krisis
|
Stabilitas
|
Faktor
risiko
|
Pengelolaan
Lingkungan
|
Tidak
membahayakan diri sendiri.
|
Akut
|
Remisi.
|
Gejala
dan Respons Koping.
|
Perencanaan
Pengobatan Timbal Balik, Modeling, dan Penyuluhan.
|
Gejala
Hilang.
|
Pemeliharaan
|
Pemulihan
|
Status
Fungsional.
|
Penguatan
dan Advokasi.
|
Perbaikan
fungsi.
|
Promosi
Kesehatan
|
Tingkat
Kesehatan Optimal.
|
Kualitas Hidup dan Ksejahteraan
|
Inspirasi
dan Validasi.
|
Mencapai
Kualitas Hidup Optimal
|
B.
Gangguan Makan
1.
Pengertian dan jenis-jenis gangguan makan
Pengaturan pola makan untuk menurunkan berat badan
merupakan hal umum, dan keinginan banyak orang terutama kaum perempuan untuk
bertubuh langsing. Melihat minat yang sangat besar terhadap makanan dan makan
itu sendiri, tidak mengherankan bahwa aspek perilaku manusia ini dapat
mengalami gangguan. Gangguan klinis mengenai gangguan makan tercantum dalam DSM
untuk pertama kalinya pada tahun 1980 sebagai suatu subkategori gangguan yang
bermula pada masa kanak-kanak atau remaja (Davidson, 2006 ; 340).
Kriteria DSM-IV-TR untuk Anoreksia Nervosa : Menolak
untuk mempertahankan berat badan normal, Meskipun berat badannya sangat kurang,
namun mengalami ketakutan yang amat sangat menjadi gemuk, Gangguan citra tubuh,
Pada perempuan yang telah mengalami mentruasi terjadi amenorea (Davidson, 2006 ; 340).
a.
Anoreksia
Nervosa
Istilah anoreksia berarti
hilangnya selera makan, dan nervosa
mengindikasikan bahwa hilangnya selera makan tersebut memiliki sebab emosional.
Istilah itu sendiri tidak tepat karena sebagian besar pasien yang menderita
anoreksia nervosa secara aktual tidak kehilangan selera makan atau selera
mereka terhadap makanan. Secara kontras, seraya melaparkan diri sendiri,
sebagian besar pasien gangguan ini sibuk dengan urusan makanan, mereka dapat
membaca buku-buku masakan secara konstan dan menyiapkan aneka makanan untuk
keluarga mereka (Davidson, 2006 ; 340).
Menurut Garfinkel (1996 dalam Davidson. 2006 ; 340) ada 4 ciri yang
diperlukan untuk menegakkan diagnosis anoreksia nervosa :
1)
Orang yang bersangkutan menolak untuk mempertahankan
berat badan normal. Penurunan berat badan biasanya dicapai melalui diet,
meskipun pengurasan (muntah dengan sengaja, penggunaan obat pencahar secara
berlebihan atau diuretik) dan olahraga yang berlebihan.
2)
Orang yang menderita anoreksia nervosa sangat takut bila
berat badan bertambah, dan rasa takut tersebut tidak berkurang dengan turunnya
berat badan. Mereka tidak pernah merasa sudah cukup kurus.
3)
Penderita anoreksia memiliki pandangan yang menyimpang
tentang bentuk tubuh mereka. Bahkan dalam kondisi kurung kering mereka tetap
merasa bajwa mereka kelebihan berat badan atau beberapa bagian tubuh tertentu
khususnya perut, pantat dan paha terlalu gemuk. Untuk mengecek berat badan
biasanya mereka menimbang, mengukur berbagai bagian tubuh dan mengamati secara
klinis tubuh mereka dicermin. Harga diri mereka sangat terkait dengan menjaga
tubuh mereka tetap kurus.
4)
Pada perempuan, kondisi tubuh yang sangat kurus
menyebabkan amenorea, yaitu berhenti periode mentruasi.
Distorsi citra tubuh yang menyertai anoreksia nervosa dapat
diukur dengan berbagai cara, umumnya menggunakan kuesioner seperti Eating Disorders Inventory (Garner,
Olmsted & Polivy, 1983). Dalam jenis pengukuran lain, pasien ditunjukkan
sebaris gambar perempuan dengan berat badan yang bervariasi dan diminta untuk
memilih gambar yang paling mendekati berat badan mereka dan satu gambar yang
mencerminkan bentuk tubuh ideal bagi mereka. Pasien yang menderita anoreksia
cukup akurat menuturkan berat badan mereka yang sebenarnya (McCabe, Mcgarlane,
Polivy & Olmsted, 2001 dalam Davidson. 2006 ; 341).
Tabel 2. 5 Subskala dan contoh beberapa item dalam Eating Disorder Inventory
|
|
Dorongan untuk kurus
|
Saya berpikir tentang melakukan diet.
Saya merasa sangat bersalah setelah makan berlebihan
Saya asyik dengan keinginan menjadi lebih kurus.
|
Bulimia
|
Saya menjejali diri dengan makanan.
Saya meneruskan makan ketika saya merasa tidak dapat
berhenti.
Saya berpikir untuk mencoba memuntahkannya agar berat
badan berkurang.
|
Ketidakpuasan tubuh
|
Saya berpikir bahwa paha saya terlalu besar.
Saya berpikir bahwa pantat saya terlalu besar.
Saya berpikir bahwa pinggul saya terlalu besar.
|
Ketidakefektifan
|
Saya merasa tidak cukup.
Saya mempunyai penilaian yang rendah terhadap diri
saya.
Saya merasakan kehampaan dari dalam (secara emosional)
|
Perfeksionism
|
Hanya penampilan yang terkenal cukup bagus dalam
keluarga saya sebagai seorang anak, saya berusaha keras agar tetap tidak
mengecewakan orangtua dan guru saya.
Saya benci menjadi yang terjelek dalam segala hal.
|
Ketidakpercayaan dalam diri
|
Saya bermasalah dalam mengekspresikan perasaan saya
kepada orang lain.
Saya perlu menjaga jarak dengan orang lain (merasa
tidak nyaman jika ada seseorang yang mencoba terlalu dekat).
|
Kesadaran Interoseptif
|
Saya merasa bingung dengan emosi yang saya rasakan
Saya tidak tahu apa yang terjadi dalam diri saya.
Saya merasa bingung apakah saya lapar atau tidak.
|
Takut pada kedewasaan
|
Saya berharap dapat kembali pada masa kecil yang aman.
Saya merasa bahwa orang yang paling bahagia ketika
mereka masih anak-anak.
Tuntutan masa dewasa terlalu besar.
|
Sumber : Garner, Olmsted, dan Polivy (1983, dalam
Davidson. 2006 ; 357)
Catatan : jawaban menggunakan skala 6 poin berkisar
dari selalu hingga tidak pernah.
|
DSM-IV-TR membedakan dua tipe anoreksia nervosa. Dalam
tipe terbatas, penurunan berat badan dicapai dengan sangat membatasi asupan
makanan ; dalam tipe makan berlebihan-pengurasan, penderita secara rutin makan
secar berlebihan dan kemudian mengeluarkannya. Subtipe makan
berlebihan-pengurasan tampaknya lebih bersifat psikopatologis, para pasien
menunjukkan gangguan kepribadian, perilaku impulsif, mencuri, penyalahgunaan
alkohol dan obat-obatan, menarik diri daei pergaulan sosial, dan upaya bunuh
diri lebih banyak dibanding para penderita anoreksia tipe terbatas (Herzog dkk.
2000 dalam Davidson. 2006 ; 342).
Para pasien anoreksia nervosa seringkali didiagnosis
dengan depresi, gangguan obsesif-kompulsif, fobia, gangguaan panik, alkoholisme
dan berbagai gangguan kepribadian (Godart ; Ivarsson 2000 dalam Davidson, 2006
; 342). Laki-laki yang menderita anoreksia nervosa juga memiliki kemungkinan
didiagnosis menderita gangguan mood, skizofrenia atau ketergantungan zat
(Striegel-Moore dkk, 1999 dalam davidson. 2006 ; 342).
1) Anoreksia Nervosa dan Depresi
Beberapa peneliti mempertimbangkan kemungkinan
bahwa anoreksia menyebabkan depresi, antara lain melalui perubahan biokimia
yang disebabkan oleh kelaparan atau rasa bersalah dan rasa malu yang
menyertainya. Berbagai studi menunjukkan bahwa kerabat pasien yang menderita
anoreksia berisiko tinggi menderita depresi dan tanggung jawab genetik dalam
anoreksia (Wade, 2000 dalam Davidson 2006 ; 342). Disisi psikologis, penelitian
juga menemukan bahwa perempuan yang menderita anoreksia dan mengalami depresi
memiliki gaya atribusional depresif.
2) Perubahan Fisik dalam Anoreksia Nervosa
Tekanan dara seringkali turun, denyut jantung
melambat, ginjal dan sistem pencernaan jadi bermasalah, massa tulang berkurang,
kulit mengering, kuku jari menjadi mudah patah, kadar hormon berubah dan dapat
terjadi anemia ringan. Beberapa pasien mengalami kerontokan rambut dan memiliki lanugo yaitu buku-buku lembut dan halus
ditubuh mereka. Garam terionisasi, proses transmisi dan kadar yang rendah dapat
mengakibatkan kelelahan, lemah, aritmias kardiak dan bahkan kematian mendadak.
Abnormalitas EEG dan hendaya neurologis sering terjadi pada pasien anoreksia
(Garner ; Lambe dkk. 1997 dalam Davidson, 2006 ; 343). Perubahan struktur otak
seperti rongga yang meluas atau pelebaran sulcar juga dapat terjadi namun dapat
diperbaiki (Hofman, 1989 dalam Davidson, 2006 ; 343)
3) Prognosis
Sekitar 70% pasien anoreksia dapat sembuh selama 6-7 masa penyembuhan dan
kekambuhan umum terjadi sebelum tercapainya pola makan yang stabil dan
dipertahankannya berat badan (Strober, Freeman & Morrel, 1997). Anoreksia
nervosa merupakan penyakit yang mengancam jiwa, angka kematian sepuluh kali
lebih besar pada para pasien yang menderita penyakit tersebut dibandingkan pada
populasi umum dan dua kali lebih besar dibanding para pasien dengan komplikasi
fisik penyakit tersebut, contohnya sesak napas karena gagal jantung dan bunuh
diri (Herzog, 2000 dalam Davidson, 2006 ; 343).
b.
Bulimia Nervosa
Bulimia berasal dari bahasa yunani yang berarti
“lapar seperti sapi jantan”. Gangguan ini mencakup periode konsumsi sejumlah
besar makanan secara tepat, diikuti dengan perilaku kompensatori, seperti
muntah, puasa atau olahraga berlebihan untuk mencegah bertambahnya berat badan
(Davidson, 2006 ; 343).
Pada bulimia, makan berlebihan biasanya dilakukan secara diam-diam dapat
dipicu oleh stres dan berbagai emosi negatif yang ditimbulkannya, dan terus
berlangsung hinggga orang yang bersangkutaan merasa sangat kekenyangan (Grilo,
Shiffman & Carter-Campbell, 1994 dalam Davidson, 2006 ; 344).
Seperti halnya anoreksia, terdapat dua subtipe bulimia nervosa : tipe
pengurasan dan tipe non-pengurasan dimasa perilaku kompensatori adalh berpuasa
atau olahraga berlebihan. Bukti-bukti bagi validitas pembedaan tipe tersebut
bervariasi. Dalam beberapa studi, orang-orang yang didiagnosis menderita
bulimia non-pengurasan memiliki berat badan lebih besar, lebih jarang makan
berlebihan dan menunjukkan lebih sedikit psikopatologi dibanding orang-orang
yang menderita bulimia tipe pengurasan (Mitchell, 1992 dalam Davidson, 2006 ;
345).
Bulimia nervosa dikaitkan dengan sejumlah diagnosis lain, terutama depresi,
gangguan kepribadian (terutama gangguan kepribadian borderline), gangguan ansietas, penyalahgunaan zat dan tingkah laku
(Godart dkk, 2000 dalam Davidson, 2006 ; 345).
1) Perubahan Fisik dalam Bulimia Nervosa
Bulimia terkait dengan beberapa efek samping
pada fisik, meskipun lebih jarang dibanding pada anoreksia, menstruasi yang
tidak teratur, termasuk amenorea dapat terjadi meskipun para pasien bulimia
biasanya memiliki Indeks Massa Tubuh Normal (Gendall dkk, 2000 dalam Davidson.
2006 ; 345). Selain itu seringnya pengurasan dapat menyebabkan kekurangan
potasium. Penggunaan obat pencahaar berlebihan menyebabkan diare, perubahan
elektrolit, dan denyut jantung menjadi tidak teratur
Muntah secara berulang dihubungkan dengan
masalah menstruasi dapat menyebabkan jaringan lambung dan tenggorokan serta
hilangnya enamel gigi ketika asam lambung merusak gigi yang kemudian menjadi
berlubang, kelenjar ludah membengkak. Kematian jauh lebih sedikit pada bulimia
nervosa dibanding pada anoreksia nervosa (Herzog dkk, 2000 dalam Davidson, 2006
; 346).
2) Prognosis
Pemantauan jangka panjang pada para pasien
bulimia nervosa mengungkap bahwa 70% memperoleh kesembuhan, meskipun sekitar
10% tetap sepenuhnya simtomatik (Reas dkk, 2000). Para pasien bulimia nervosa
yang lebih sering makan berlebihan dan muntah, komorbid dengan penyalahgunaan
zat ataau memiliki riwayat depresi memiiki prognosis lebih buruk dibanding
pasien tanpa faktor-faktor tersebut (Wilson, dkk. 1999 dalam Davidson. 2006 ;
346).
c.
Gangguan Makan
Berlebihan
DSM-IV-TR mencantumkan gangguan makan berlebihan sebagai satu diagnosis
yang memerlukan studi lebih jauh dan bukan sebagai diagnosis resmi. Gangguan
ini mencakup makan berlebhan yang berulang (dua kali seminggu selama
sekurang-kurangnya enam bulan), kurangnya kontrol diri selama episode makan
berlebihan dan merasa tertekan karena makan berlebihan serta berbagai
karkteristik lain seperti makan dengan cepat dan makan diam-diam. Kondisi ini
dibedakan dari anoreksia nervosa dalam hal tidak terjadinya penurunan berat
badan dan dari bulimia nervosa dalam hal tidak adanya perilaku kompensatori
(pengurasan, berpuasa atau olahraga berlebihan) (Davidson, 2006 ; 346).
Gangguan makan berlebihan memiliki ciri yang mendukung validitasnya.
Gangguan ini lebih sering terjadi pda perempuan dibanding pada laki-laki dan
dihubungkan dengan obesitas dan riwayat melakukan diet (Pike dkk, 2001 dalam
Davidson, 2006 ; 346). Gangguan ini dikaitkan dengan hendaya fungsi pekerjaan
dan sosial, depresi, harga diri yang rendah, penyalahgunaan zat dan
ketidakpuasan atas bentuk tubuh.
Faktor-faktor risiko terbentuknya gangguan makan berlebihan mencakup
obesitas pada masa kanak-kanak, komentar-komentar bernada mengkritik atas berat
badan yang berlebihan, konsep diri yang rendah, depresi dan penyiksaan fisik
atau seksual pada masa kanak-kanak (Fairburn dkk, 1998 dalam Davidson, 2006 ;
346).
2.
Etiologi gangguan makan
a.
Faktor-faktor
biologis
1)
Genetik
Anoreksia nervosa dan bulimia nervosa dapat terjadi dalam satu keluarga.
Kerabat tingkat pertama dari perempuan muda yang menderita anoreksia nervosa
memiliki kemungkinan sepuluh kali lebih besar dibanding rata-rata untuk
menderita gangguan tersebut, sedangkan bulimia nervosa memiliki kemungkinan sekitar
empat kali lebih besar untuk menderita bulimia nervosa (Strober dkk, 2000 dalam
Davidson 2006 ; 347).
Studi terhadap orang kembar terkait gangguan makan juga menunjukkan
pengaruh genetik. Sebagian besar menujukkan tingkat kesesuaian yang lebih
tinggi pada kembar MZ dibanding DZ (Fichter & Naegel, 1990) dan gen
memiliki pengaruh yang lebih besar pada orang-orang kembar yang menderita
gangguan makan dibandingkan dengan faktor lingkungan (Wade dkk, 2000 dalam
Davidson, 2006 ; 347)
2)
Gangguan makan dan otak
Hipotalamus adalah pusat otak yang penting dalam pengaturan rasa lapar dan
makan. Penelitian paa hewan yang mengalami lesi pada lateral hipotalamus
mengindikasikan bahwa mereka mengalami penurunan berat badan dan tidak memiliki
selera makan (Hoebel & Teitelbaum, 1999). Dengan demikian tidak
mengherankan bila hipotalamus dianggap berperan dalam anoreksia, kadar bebrapa
hormon yang diatur oleh hipotalamus seperti kortisol memang tidak normal pada
penderita anoreksia, namun bukan merupakaan penyebab anoreksia, melainkan
merupakan akibat kondisi melaparkan diri sendiri dan kadarnya kembali normal
seiring dengan bertambahnya berat badan (Stoving dkk, 1999). Hipotalamus yang
mengalami disfungsi tampaknya tidak memiliki kemungkinan besar sebagai faktor
dalam anoreksia nervosa (Davidson, 2006 ; 348).
Opioid endogenus adalaah zat yang diproduksi tubuh yang mengurangi sensasi
sakit, meningkatkan mood dan menekan selera makan. Opioid diproduksi dalam
keadaan kelaparan dan dianggap berperan dalam anoreksia dan bulimia namun
dengan cara yang berbeda. Kelaparan pada pasien anoreksia dapat menaikkan kadar
opioid endogenus yang menyebabkan kondisi eforia yang memberikan penguatan
positif (Davis, 1996 dalam Davidson, 2006 ; 348).
Beberapa penelitian menfokuskan pada beberapa neurotransmitter yang
berhubungan dengan makan dan rasa kenyang. Serotinin menyebabkan rasa kenyang,
asupan makanan memengaruhi sintesis serotinin didalam otak. Dengan demikian,
pasien anoreksia asupan makanan yang sangat terbatas dapat menghambat sistem
serotinin. Beberapa studi menemukan kadar metabolit serotinin yang rendah pada
pasien anoreksia. Terkait bulimia, bukti-bukti yang ada tampaknya lebih
konsisten, dimana sebagian besar temua menunjukkan turunnya kadar metabolit
serotinin (Carrasco dkk, 2000 dalam Davidson 2006 ; 349).
b.
Pengaruh Sosiokultural
Secara cukup paradoksikal, sementara standar budaya bergerak kearah tubuh
yang kurus selama paruh waktu akhir abad ke-20, semakin banyak orang yang
mengalami kelebihan berat badan. Prevalensi obesitas meningkat dua kali lipat
sejak tahun 1900. Dewasa ini, 20-30% penduduk Amerika mengalami kelebihan berat
badan, mungkin karena lebih banyaknya makanan dan gaya hidup yang tidak aktif
dan menjadi awal tahap konflik yang semakin besar antara bentuk tubuh ideal dan
realitas berdasarkan budaya (Davidson. 2006 ; 350).
Seiring semakin sadarnya masyarakat terhadap kesehatan dan kegemukan,
pengaturan mankan untuk menurunkan berat badan menjadi suatu hal yang umum,
jumlah orang-orang yang menjalani pengaturan makan meningkat dati 7% pada kaum
laki-laki dan 14% pada kaum perempuan pada tahun 1950 menjadi 29% pada kaum
laki-laki dan 44% pada kaum perempuan pada tahun 1999 (Serdula dkk, 1999 dalam
Davidson, 2006 ; 350).
Tubuh kurus yang ideal berdasarkan standar sosiokultural kemungkinan
merupakan sarana yang membuat orang-orang yang mempelajari rasa takut menjadi
gemuk atau bahkan merasa gemuk. Selain menciptakan bentuk fisik yang tidak
diinginkan menjadi gemuk memiliki konotasi negatif seperti ketidaksuksesan dan
kurang memiliki kontrol diri (DeJong & Kleck, 1986 dalam Davidson. 2006 ;
351).
1)
Pengaruh gender
Salah satu alasan utama atas prevalensi gangguan makan yang lebih besar
pada akum perempuan kemungkinan adalah fakta bahwa standar budaya masyarakat Barat
menguatkan keinginan untuk menjadi kurus pada perempuan dibanding laki-laki.
Selain itu nilai-nilai sosiokultural mendorong objektivitasi tubuh perempuan
sedangkan kaum laki-laki lebih dihargai berdasarkan berbagai keberhasilan
mereka. Risiko gangguan makan pada kelompok perempuan yang sangat peduli
terhadap berat badan misalnya para model, penari dan pesenam sangat tinggi
(Garner dkk. 1980 dalam Davidson, 2006 ; 353)
2)
Berbagai studi
lintas budaya
Gangguan makan lebih banyak terjadi
dalam masyarakat industry seperti Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Australian
dan Eropa dibandingkan Negara nonindustri. Dalam suatu studi epidemiologis yang
dilakukan di Swiss, insiden Anoreksia Nervosa meningkat empat kali lipat dari
tahun 1950-an hingga tahun 1970-an (Will & Grossman, 1983 didalam Davidson,
2006 ; 353). Dari berbagai studi juga ditemukan bahwa bila perempuan yang
berasal dari masyarakat dengan tingkat prevalensi gangguan makan yang rendah
pindah ke masyarakat dengan tingkat prevalensi tinngi, maka prevalensi
mengalami kenaikan (Nasser, 1986 ; Yates, 1989 dalam Davidson, 2006 ; 353).
Dalam suatu studi yang memperkuat
perkiraan tentang perbedaan persepsi citra tubuh diantara berbagai budaya, para
mahasiswa Uganda dan Inggris menilai daya tarik gambar-gambar perempuan
telanjang yang berkisar antara sangat kurus hingga sangat gemuk (Furham &
Baguma, 1994 dalam Davidson 2006 ; 354). Para mahasiswa Uganda menilai
perempuan yang obesitas lebih menarik dibandingkan penilaian para mahasiswa
Inggris.
Dengan demikian, variasi
antarberbagai budaya dalam prevalensi gangguan makan tetap merupakan suatu
pendapat dan kadang kontrversional. Contohnya Lee (1994) menjelaskan suatu
gangguan mirip dengan anoreksia nervosayang terjadi diberbagai Negara
nonindustri di Asia (India, Malaysia, Filipina). Gangguan ini ditandai dengan
tubuh yang sangat kurus, menolak makan dan amenorea namun tidak disertai rasa
takut menjadi gemuk (Davidson, 2006 ; 354).
3)
Perbedaan etnik
Di Amerika Serikat, pernah
dilaporkan bahwa insiden anoreksia delapan kali lebih banyak terjadi pada
perempuan kulit putih dibandingkan perempuan kulit bewarna (Dola, 1991 dalam
Davidson, 2006 ; 354) Berbagai studi menunjukkan bahwa gadis remaja menjalani
diet dibanding gadis remaja Afrika Amerika dan lebih mungkin merasa tidak puas
dengan bentuk tubuh mereka (Moore dkk, 2000 dalam Davidson, 2006 ; 354).
Kelompok etnis bukan merupakan
satu-satunya variable penting dalam berbagai perbedaan tersebut. Kelas sosial
juga merupakan hal penting (Caldwell, Brownell & Wilfley, 1997 ; French dkk , 1997 dalam Davidson, 2006 ;
355).
c.
Pandangan
psikodinamika
Terdapat banyak teori psikodimanika
mengenai gangguan makan, sebagian besar bependapat bahwa penyebab utamanya
terdapat dalam hubungan orang tua-anak yang terganggu dan sepakat bahwa
beberapa karakteristik kepribadian penting. Seperti harga diri rendah dan
perfeksionisme ditemukan pada individu yang memiliki gangguan makan. Berbagai teori psikodinamika juga menyatakan bahwa simtom-simtom gangguan
makan menjadi suatu pemenuhan bagi beberapa kebutuhan seperti meningkatkan rasa
efektivitas diri melalui keberhasilan mempertahankan diet ketat atau tidak
tumbuh secara seksual dengan menjadi sangat kurus sehingga tidak mencapai
bentuk tubuh seorang perempuan pada umumnya (Goodsitt, 1997 dalam Davidson,
2006 ; 353).
Salah satu pandangan yang diterima luas, dikemukakan oleh Hilde Bruch (1980
dalam Davidson. 2006 ; 355) menyatakan bahwa anoreksia nervosa merupakan upaya
yang dilakukan anak-anak yang dibesarkan dengan cara yang membuat mereka merasa
tidak efektif untuk memperoleh kompetensi dan penghargaan dan untuk
menghilangkan rasa tidak berguna, tidak efektif dan tidak berdaya.
Perasaan tidak efektif tersebut diyakini muncul akibat pola asuh yang
memaksakan keinginan orangtua pada anak tanpa mempertimbangkan kebutuhan atau
keinginan si anak. Contohnya orang tua secara sepihak menentukan kapan anak
merasa lapar atau lelah dan tidak dapat mengenali kondisi aktual si anak.
Anak-anak yang dibesarkan dengan cara ini tidak belajar untuk mengidentifikasi
kondisi internal mereka sendiri dan menjadi tidak mandiri. Menghadapi berbagai
tantangan dimasa remaja, si anak terjebak pada penekanan sosial mengenai
kelangsingan tubuh dan mengubah diet menjadi alat untuk memperoleh kendali dan
identitas. Terlebih lagi persepsi diri negatif tentang berat badan digunakan
sebagi sudut pandang untuk melihat berbagai aspek lain dalam dirinya sehingga
berkontribusi terhadap keseluruhan penilaian diri yang rendah.
Teori psikodinamika lain dijelaskan oleh Goodsitt (1997 dalam Davidson,
2006 ; 356) menyatkan bahwa bulimia nervosa pada perempuan berakar dari
kegagalan untuk mengemabngkan kesadaran diri yang adekuat karena hubungan
ibu-anak yang dipenuhi konflik. Makanan menjadi simbol kegagalan hubungan
tersebut. Makan berlebihan dan pengurasan yang dilakukan si anak mencerminkan
konflik antara kebutuhan akan ibu dan keinginan untuk menolak ibu.
d. Kepribadian dan gangguan makan
Banyak studi yang mengukur kepribadian terkini para penderita gangguan
makan mengacu pada hasil berbagai kuesioner kepribadian yang telah diakui
seperti MMPI. Para pasien yang menderita anoreksia maupun bulimia memilki
tingkat neurotisme dan kecemasan yang tinggi dan harga diri yang rendah
(Davidson, 2006 ; 346).
Para penderita anoreksia nervosa menuturkan mengalami depresi, isolasi
sosial dan kecemasan sedangkan para penderita bulimia nervosa menunjukkan
psikopatologi yang lebih luas dan serius, mendapatkan skor lebih tinggi dari
para penderita anoreksia nervosa dalam beberapa skala MMPI (Vitousek &
Manke, 1994 dalam Davidson, 2006 ; 357).
Data dari beberapa studi mengenai kepribadian orang-orang yang menderita
gangguan makan cukup konsisten dengan teori psikodinamika. Para penderita
gangguan makan secara konsisten diketahui memiliki harga diri rendah. Terlebih
lagi sejalan dengan teori Bruch, para penderita anoreksia nervosa cenderung
patuh, terhambat, dan perfeksionis. Berbagai temua oleh Leon dan para koleganya
bahwa kurangnya kesadaran interoseptif memprediksi risiko gangguan makan
menegaskan pemikiran Bruch bahwa orang-orang tersebut kurang mampu
mengindentifikasi kondisi internal diri sendiri (Garner dkk, 1983 dalam Davidson,
2006 ; 358).
e. Karakteristik keluarga
Suatu studi menguji pasien gangguan makan dan para orangtua mereka dengan
menggunakan tes yang dirancang untuk mengukur rigitas, kedekatan, keterlibatan
emosional yang berlebihan, berbagai komentar kritis dan permusuhan. Terdapat
variasi besar dalam berbagai keluarga tersebut dalam kaitan apakah orangtua
terlalu banyak turut campur dalam urusan anak-anaknya, para keluarga memiliki
tingkat kritik dan permusuhan yang rendah (Dare dkk, 1994 dalam Davidson, 2006
; 358).
f. Penyiksaan anak dan gangguan makan
Beberapa studi mengindentifikasi bahwa penuturan diri tentang pelecehan
seksual dimasa kanak-kanak lebih tinggi dari normal diantara pasien dengan
gangguan makan terutama bulimia nervosa (Webster & Palmer, 2000 dalam
Davidson, 2006 ; 359). Penelitian juga menemukan angka pelecehan fisik dimasa
kanak-kanak yang lebih tinggi dikalangan pasien gangguan makan. Pelecehan yang
terjadi pada usia yang sangat awal melibatkan unsur paksaan dan dilakukan oleh
anggota keluarga dapat memiliki hubungan yang lebih kuat dengan gangguan makan
dibanding jenis pelecehan lainnya (Davidson, 2006 ; 360).
g. Pandangan kognitif-perilaku
1) Anoreksia nervosa
Rasa takut terhadap kegemukan dan gangguan citra tubuh dihipotesiskan
sebagai faktor-faktor yang memotivasi yang menjadikan kondisi melaparkan diri
sendiri dan penurunan berat badan sebagai penguat yang penuh upaya. Perilaku
untuk mencapai atau mempertahankan tubuh kurus diperkuat secara negatif dengan
berkurangnya kecemasan akan menjadi gemuk. Diet dan penurunan berat badan dapat
diperkuat secara positif dengan perasaan memiliki menguasai atau kontrol diri
yang ditimbulkan. Faktor lainnya adalah kritikan dari kawan sebaya dan oarang
tua tentang kelebihan berat badan yang dialaminya (Davidson, 2006 ; 360).
2) Bulimia nervosa
Skema 2.6 : Teori kognitif perilaku tentang bulimia nervosa menurut
Davidson (2006 ; 361).
3. Komplikasi
Medis Gangguan Makan (Videbeck, 2008; 617)
Tabel 2.7 : Komplikasi
medis gangguan makan
|
|
Sistem tubuh
|
Gejala
|
Berhubungan
dengan penurunan berat badan
|
|
Muskuloskeletal
|
Kehilangan massa otot, kehilangan lemak, osteoporosis, dan
fraktur patologis.
|
Metabolik
|
Hipotiroidisme gejalanya termasuk kurang energi, kelemahan,
intoleransi terhadap dingin dan bradikardial, hipglikemia, dan penurunan
sensitivitas insulin.
|
Jantung
|
Bradikardia, hipotensi, kehilangan otot jantung , jantung
mengecil, aritmia jantung(termasuk kontraksi prematur atrium dan ventrikel,
interval QT memanjang, takikardi ventrikel), dan kematian tiba-tiba.
|
Gastrointestinal
|
Penundaan pengosongan lambung, kembung, konstipasi, nyeri
abdomen, gas, dan diare.
|
Reproduksi
|
Amenore dan kadar luteinizing
hormone dan follicle stimulating hormone rendah.
|
Dermatologi
|
Kering, kulit pecah-pecah karena dehidrasi, lanugo (yaituu rambut
halus pada tubuh janin), edema, dan akrosianosis (yaitu tangan dan kaki
biru).
|
Hematologi
|
Leukopenia , anemia, trombositopenia, hiperkolesterolemia, dan
hiperkarotenemia.
|
Neuropsokiatri
|
Sensasi pengecapan abnormal, depresi apatis, gejala gangguan jiwa
organik ringan, dan ganguan tidur.
|
Berhubungan
dengan pengurasan (muntah dan penyalahgunan laksatif
|
|
Metabolik
|
Abnormalitas elektrolit, terutama hipokalemia, alkalosis
hipokloremik, hipomagnesemia, dan peningkatan BUN.
|
Gastrointestinal
|
Pembesaran dan inflamasi kelenjar saliva dan pankreas disertai
peningkatan amilase serum erosi atau ruptur esofagus dan lambung, disfungsi
usus, dan sindrom arteri mesenterika superior.
|
Gigi
|
Erosi email gigi (perimiolisis), tertama gigi depan.
|
Neuropsikiatri
|
Kejang (berhubungan dengan perpindahan cairan secara besar-besaran dan gangguan
elektrolit), neuropati ringan,
keletihan, kelemahan, dan gejala gangguan jiwa organik ringan
|
4.
Penanganan gangguan makan
Perawatan di rumah sakit, yang kadang dijalani
dengan terpaksa seringkali diperlukan untuk menangani pasien anoreksia agar
asupan makanan pasien dapat ditingkatkan secara bertahap dan dipantau dengan teliti.
Berat badan dapat sangat kurang sehingga diperlukan pemberian makan melalui
infus untuk menyelamatkan pasien (Davidson, 2006 ; 362).
a. Penanganan biologis
Pada penderita bulimia nervosa seringkali komorbid dengan depresi, gangguan
ini ditangani dengan berbagai antidepresan. Fluoksetin ternyata lebih
memberikan hasil dibanding plasebo untuk mengurangi makan berlebihan dan
muntah, juga mengurangi depresi dan sikap yang menyimpang terhadap makanan dan
makan (Davidson, 2006 ; 363).
Obat-obatan juga digunakan dalam upaya menangani anoreksia nervosa, hanya
saja tidak berhasil. Sangat sedikit keberhasilan dengan obat-obatan untuk
meningkatkan berat badan secara signifikan, juga tidak mengubah gejala-gejala
utama anoreksia atau memberikan manfaat tambahan yang signifikan dalam program
standar penanganan pasien rawat inap (Attia dkk, 1998 dalam Davidson, 2006 ;
363).
b. Penanganan psikologis anoreksia nervosa
Terapi bagi anoreksia diyakini sebagai suatu proses dua tahap. Tujuan
jangka pendeknya adalah membantu pasien menambah berat badan untuk mencegah
komplikasi medis dan kemungkinan kematian. Program terapi perilaku operant-conditioning cukup berhasil
untuk menambah berat badan dalam jangka pendek (Hsu, 1991 dalam Davidson, 2006
; 363). Tujuan kedua adalah mempertahankan pertahanan berat badan dalam jangka
panjang belum dicapai secara reliabel melalui berbagai intervensi medis,
perilaku atau psikodinamika tradisional (Wilson, 1995 dalam Davidson, 2006 ;
363).
Terapi keluarga merupakan bentuk penanganan utama untuk anoreksia nervosa.
Minuchin dan para koleganyya berpendapat bahwa simtom-simtom gangguan makan
paling baik dipahami dengan memahami pasien dan bagaimana simptom tersebut
tertanam dalam struktur keluarga yang disfungsional. Menuurut Minuchin dkk
(1975 dalam Davidson, 2006 ; 364) keluarga dari anak-anak yang menderita
gangguan makan menunjukkan beberapa karakteristik berikut ini :
1) Keterikatan. Keluarga memiliki keterlibatan
yang berlebihan dan keintiman dimana orangtua berbicara mewakili anak-anaknya
karena yakin mengetahui pasti apa yang dirasakan anak-anak mereka.
2) Terlalu protektif. Memiliki keperdulian ektrem
terhadap kesejahteraan satu sama lain.
3) Rigiditas. Keluarga memiliki kecenderungan
untuk mempertahankan status quo dan menghindari secara efektif peristiwa yang
menghendaki perubahan.
4) Kurangnya penjelasan konflik. Keluarga
menghindari konflik atau berada dalam situasi konflik yang kronis.
c. Penanganan psikologis bulimia nervosa
Pendekatan terapi perilaku kognitif (CBT-cognitive
behavior therapy) dari Fairbun (1993 dalam Davidson, 2006 ; 365) merupakan
standar penanganan bulimia nervosa yang paling tervalidasi dengan baik dan paling
terkini. Dalam terapi Fairburn, pasien didorong untuk mempertanyakan berbagai
standar masyarakat terkait daya tarik fisik, mengungkapkan dan kemudian mengubah
keyakinan yang mendorong mereka melaparkan diri sendiri untuk mencegah
bertambahnya berat badan. Tujuan keseluruhan penanganan bulimia nervosa adalah
mengembangkan pola makan normal (makan tiga kali sehari) (Davidson, 2006 ;
365).
Dalam beberapa studi lain, terapi interpersonal (IPT) dari Weissman dan
Klerman sama baiknya dengan CBT.
Keberhasilan IPT menunjukkan bahwa setidaknya bagi beberapa pasien, pola
makan yang terganggu dapat disebabkan oleh hubungan interpersonal yang buruk
dan berbagai perasaan negatif terhadap diri sendiri dan lingkungan yang
ditimbulkannya. Penanganan kognitif perilaku tampak lebih baik dari berbagai
intervensi lain termasuk pemberian obat-obatan, masih banyak hal yang harus
dipelajari untuk menangani bulimia nervosa (Davidson, 2006 ; 368).
5.
Asuhan keperawatan gangguan makan (Videbeck, 2008; 624)
a.
Pengkajian
Beberapa tes khusus dikembangkan untuk gangguan makan. Alat
pengkajian seperti Tes Sikap Makan sering kali digunakan dalam penelitian
anoreksia dan bulimia. Tes ini juga dapat digunakan pada akhir terapi untuk
mengavaluasi hasil karena tes ini sensitif terhadap perubahan klinis.
1)
Riwayat
Sebelum
berkembangnya anoreksia nervosa, pasien sering kali digambarkan sebagai orang
yang perfeksionis dengan intelegensi di atas rata-rata dan berorientasi pada
pencapaian, dapat diandalkan, sangat ingin menyenangkan orang lain, dan pencari
persetujuan. Orang tua menggambarkan pasien sebagai anak yang “baik,tidak
pernah menyebabkan masalah” sampai awitan anoreksia.
Pasien bulimia
juga sering berfokus pada bagaimana menyenangkan orang lain dan menghindari
konflik. Akan tetapi, pasien bulimia sering mempunyai riwayat perilaku impulsif
seperti penyalahgunaan zat dan pencurian di toko, juga ansietas, depresi, dan
gangguan kepribadian (Schultz & Videbeck, 1998).
2)
Penampilan umum
dan perilaku motorik
Pasien anoreksia nervosa tampak
lamban, letargi, dan letih; ia mungkin kurus, bergantung pada jumlah penurunan
berat badan. Ia mungkin lamban untuk berespons terhadap pertanyaan dan sulit
memutuskan apa yang akan dikatakan. Ia sering kali enggan menjawab pertanyaan
secara lengkap, tidak mau mengakui bahwa ada masalah. Ia sering kali memakai
baju yang longgar berlapis-lapis, tanpa memerhatikan cuaca, baik menutupi berat
badannya maupun menjaga tetap hangat (pasien anoreksia biasanya kedinginan).
Kontak mata mungkin terbatas, dan pasien mungkin menjauh dari perawat, yang
menunjukkan ketidakmauan untuk mendiskusikan masalahnya atau menjalani terapi.
Pasien bulia dapat kelebihan berat
badan atau kekurangan berat badan, tetapi biasanya mendekati berat badan yang
diharapkan sesuai dengan usia dan ukuran tubuhnya. Penampilan umum pasien luar
biasa, dan ia tampak terbuka dan mau berbicara.
3)
Mood dan afek
Pasien yang mengalami gangguan makan
mempunyai mood labil, biasanya
berhubungan dengan perilaku makan atau diet mereka. Menghindari makanan yang
“buruk” atau makanan yang menggemukkan memberikan mereka perasaan yang kuat dan
kendali terhadap tubuh mereka, sedangkan makan
berlebihan, atau pengurasan menimbulkan ansietas, depresi, dan perasaan
lepas kendali. Pasien sering tampak sedih, cemas, dan khawatir. Pasien
anoreksia jarang tersenyum, tertawa, atau menikmati berbagai humor; mereka
muram dan serius sepanjang waktu.
Sebaliknya, pasien bulimia pada
awalnya senang dan gembira, seolah-olah tidak ada yang salah. Wajah yang
menyenangkan biasanya hilang saat pasien mulai menunjukkan perilaku makan
berlebihan dan pengurasan, dan pasien mungkin menunjukkan emosi yang intens
tentang perasaan bersalah, malu, dan memalukan.
Penting untuk menanyakan pasien yang
mengalami gangguan makan tentang pikiran mencederai diri atau bunuh diri. Tidak
luar biasa bagi pasien yang mengalami gangguan makan yang terlibat dalam
perilaku mencederai firi seperti memotong nadi. Perhatian terhadap perilaku
mencederai diri dan bunuh diri ditingkatkan pada pasien dengan riwayat
penganiayaan seksual.
4)
Proses dan isi
pikir
Pasien dengan gangguan makan
meluangkan banyak waktu untuk memikirkan diet, makanan, dan perilaku yang
berhubungan dengan makanan.mereka mengalami preokupasi dengan makanan dan usaha
mereka yang menghindari makanan atau memakan makanan yang “buruk” atau “salah”.
Pasien tidak dapat memikirkan tentang berat badan dan makanan.
Pasien anoreksia yang berat badannya
sangat rendah mungkin mempunyai ide paranoid tentang keluarganya dan
profesional perawatan kesehatan, yang meyakini bahwa mereka adalah “musuh” yang
mencoba membuatnya gemuk dengan menyuruhnya untuk makan.
5)
Sensorium dan
proses intelektual
Secara umum, pasien dengan gangguan
makan waspada dan terorientasi, dan fungsi intelektualnya utuh. Pengecualiannya
adalah pasien anoreksia yang mengalami malnutrisi berat dan menunjukkan
tanda-tanda kelaparan sepert kebingungan yang ringan, proses mental yang
lambat, serta sulit berkonsentrasi dan memerhatikan.
6)
Penilaian dan
daya tilik
Pasien anoreksia mempunyai daya
tilik yang sangat terbatas dan penilaian yang buruk tentang status
kesehatannya. Ia tidak memercayai bahwa ia mengalami masalah, tetapi yakin
bahwa orang lain mencoba mengganggu usahanya untuk menurunkan berat badan dan
mendapatkan citra tubuh yang ia inginkan. Informasi aktual tentang status
kesehatannya yang memburuk tidak cukup meyakinkannya bahwa masalah tersebut
benar-benar ada. Pasien anoreksia terus membatasi asupan makanannya atau
terlibat dalam perilaku pengurasan meskipun terdapat efek negatif pada
kesehatannya.
Sebaliknya, pasien bulimia malu
dengan perilaku makan berlebihan dan pengurasan. Ia mengakui bahwa perilaku
tersebut abnormal dan berusaha keras untuk menyembunyikannya dari orang lain.
Ia merasa lepas kendali dan tidak mapu mengubah perilaku tersebut meskipun ia
mengakui perilaku tersebut sebagai hal yang patologis.
7)
Konsep diri
Harga diri yang
rendah sangat menonjol pada pasien yang mengalami gangguan makan. Mereka
melihat diri mereka sendri hanya pada kemampuan mereka untuk mengontrol asupan
makanan dan berat bada. Mereka cenderung menilai diri mereka sendiri dengan
kasar dan melihat diri mereka sendiri sebagai orang yang “buruk” jika mereka
makan makanan tertentu atau gagal menurunkan berat badan.karakteristik atau
pencapaian personal yang lain dilupanan atau diabaikan karena tidak sepenting
langsing. Pasien sering merasa diri mereka tidak berdaya dan tidak berguna.
Perasaan kurang kontrol terhadap diri
dan lingkungan mereka ini hanya menguatkan keinginan mereka untuk mengontrol
asupan makanan dan berat badan.
8)
Peran dan
hubungan
Gangguan makan
mengganggu kemampuan pasien dalam memenuhi peran dan memiliki hubungan yang
memuaskan dengan orang lain. Pasien anoreksia mungkin mulai tidak naik kelas di
sekolahnya, yang sangat berbeda dengan penampilan akademik yang berhasil
sebelumnya. Ia menarik diri dari teman sebaya dan memberikan sedikit perhatian
untuk persahabatan. Ia yakin bahwa orang lain tidak akan mengerti atau takut,
ia akan mulai makan tanpa terkendali di hadapan orang lain.
Pasien bulimia
merasa sangat malu dengan perilaku makan berlebihan dan pengurasan. Hal ini
menyebabkannya menjalani kehidupan yang rahasia, dengan diam-diam melakukan
makan berlebihan dan pengurasan di belakang teman dan keluarganya. Jumlah waktu
yang diluangkan untuk membeli dan memakan makanan dan kemudia melakukan
pengurasan dapat mengganggu performa peran baik di rumah maupun di tempat
kerja.
9)
Pertimbangan
fisiologis dan perawatan diri
Status kesehatan pasien yang
mengalami gangguan makan secara langsung berhubungan dengan keparahan kelaparan-diri
dan perilaku pengurasan yang ia lakukan, atau keduanya. Selain itu, pasien
mungkin melakukan olahraga yang berlebihan, hampir pada tingkat keletihan,
dalam upaya mengontrol berat badannya. Banyak pasien mengalami gangguan tidur
seperti insomnia, waktu tidur yang berkurang, dan terbangun pagi-pagi sekali.
Pasien yang sering muntah mengalami banyak masalah gigi seperti kehilangan
email gigi, gigi gumpil dan gerigis, dan karies gigi. Muntah yang sering sapat
juga mengakibatkan luka di bagian mulut. Pemeriksaan gigi dan medis yang
lengkap penting dilakukan.
b.
Diagnosa
1)
Perubahan
nutrisi : kurang/lebih dari kebutuhan tubuh.
2)
Ketidakefektifan
koping individu.
3)
Gangguan citra
tubuh.
Diagnosa yang lain yang mungkin
berhubungan , seperti kekurangan volume cairan, konstipasi, keletihan, dan
intoleran aktivitas.
c.
Intervensi
Kriteria hasil :
1)
Pasien akan
menetapkan pola makan bergizi yang adekuat.
2)
Pasien akan
menghindari penggunaan perilaku kompensasi seperti olahraga berlebihan dan
penggunaan laksatif dan diuretik.
3)
Pasien akan
menunjukkan mekanisme koping yang tidak berhubungan dengan makan.
4)
Pasien akan
mengungkapkan perasaan bersalah, marah, cemas atau kebutuhan yang berlebihan
akan kontrol.
5)
Pasien akan
mengungkapkan penerimaan terhadap citra tubuh dengan berat badan yang stabil.
Intervensi :
1)
Menetapkan pola
makan yang bergizi.
a)
Duduk bersama
pasien selama makan besar dan makan kudapan.
b)
Tawarkan
suplemen protein cair jika tidak mampu menghabiskan makanan.
c)
Ikuti panduan
program terapi yang terkait dengan pembatasan.
d)
Observasi
pasien setelah makan besar dan makan kudapan selama 1 sampai 2 jam.
e)
Timbang berat
badan pasien setiap hari setiap hari dengan baju yang sama.
f)
Waspada
terhadap usaha menyembunyikan atau membuang makanan atau menambah berat badan.
2)
Membantu pasien
mengidentifikasi emosi dan mengembangkan strategi koping yang tidak berhubungan
dengan makanan.
a)
Minta pasien
untuk mengidentifikasi perasaan.
b)
Pemantauan diri
dengan menggunakan catatan harian.
c)
Teknik
relaksasi.
d)
Distraksi.
e)
Bantu pasien
untuk mengubah keyakinan stereotip.
3)
Membantu pasien
menghadapi masalah citra tubuh.
a)
Kenalkan
manfaat dari berat badan yang lebih mendekati normal.
b)
Bantu pasien
melihat dirinya sendiri dengan cara yang tidak berhubungan dengan citra tubuh.
c)
Identifikasi
kekuatan personal, minat dan bakat pasien.
4)
Memberi
penyuluhan pada pasien dan keluarga.
Pasien
a)
Kebutuhan
nutrisi dasar.
b)
Efek
membahayakan dan pembatasan makan, diet dan pengurasan.
c)
Tujuan yang
realistis tentang makan.
d)
Penerimaan
terhadap citra tubuh yang sehat.
Keluarga dan teman
a)
Memberikan
dukungan emosional.
b)
Menunjukkan
perhatian terhadap kesehatan pasien.
c)
Mendorong
pasien untuk mencari bantuan profesional.
d)
Menghindari
berbicara hanya tentang berat badan, asupan makanan, kalori.
e)
Terinformasi
tentang gangguan makan.
f)
Tidak mungkin
bagi keluarga dan teman untuk memaksa pasien makan. Pasien membutuhkan bantuan
profesional dari ahliterapi atau pskiater.
d.
Evaluasi
Alat pengkajian seperti Tes Sikap
Makan dapat digunakan untuk mendeteksi perbaikan pada pasien yang mengalami
gangguan makan. Anoreksia dan bulimia nervosa merupakan gangguan kronis bagi
banyak pasien. Gejala sisisa seperti diet, olahraga yang kompulsif , dan
ketidaknyamanan saat makan dalam lingkungan sosial biasa terjadi . terapi dianggap
berhasil jika pasien menjaga berat badan dalam 5%-10% dari berat badan normal
tanpa komplikasi medis akibat kelaparan atau pengurasan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat penulis simpulkan antara lain adalah :
1. Stres adalah realita kehidupan setiap hari
yang tidak dapat dihindari. Stres bukan sesuatu hal yang buruk dan menakutkan,
tetapi merupakan bagian kehidupan.
2. Gangguan makan yang dialami seseorang
dipengaruhi oleh berbagai faktor internal maupun ekternal dari individu tersebut.
3. Perawat dapat secara profesional memberikan
pendidikan kesehatan dan penanganan secara dini mengenai masalah yang menganggu
kesehatan jiwa pasiennya. Melakukan pencegahan sedini mungkin untuk mesalah
yang lebih meluas.
B.
Saran
Dalam
makalah tugas mandiri ini memuat
informasi mengenai aspek-aspek yang
mencakup dalam kebutuhan konsep
diri yang mengalami gangguan seperti adaptasi stres dan gangguan makan individu.
Mungkin dalam laporan tugas mandiri ini banyak sekali terdapat kekeliruan,
Penulis berharap agar pembaca dapat memakluminya karena penulis juga masih
dalam tahap belajar. Serta masih banyak buku-buku referensi yang menjelaskan
secara detail mengenai hal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Davison, Gerald C. (2006). Psikologi
Abnormal. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Misnadiarly.(2007). Obesitas sebagai Faktor Risiko Beberapa
Penyakit. Jakarta : Pustaka Obor popular
Suliswati. (2005).
Konsep Dasar Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC
Stuart, Gail W.
(2006). Buku Saku Keperawatan Jiwa.
Jakarta: EGC.
Stuart, Gail W & Laraia, M.T
(2005). Principles and Practice of
Psychiatric Nursing. (7th Edition). St Louis: Mosby
Videbeck, Sheila
L.(2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
artikelnya sangat panjang heeh,, capek deh baca
BalasHapusDownload antivirus terbaru
HHheehehe :)
HapusGpp capek bacanya, selama panjangnya bacaan bermakna ilmu