Senin, 01 Juli 2013

Konsep Adaptasi Stres dan Gangguan Makan


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Pemahaman tentang stres dan akibatnya penting bagi upaya pengobatan maupun pencegahan banyak gangguan kesehatan jiwa. Stres diakibatkan oleh adanya perubahan-perubahan diantaranya perubahan nilai budaya, perubahan sistem kemasyarakatan, pekerjaan serta akibat ketegangan antara idealisme dan realita (Suliswati, 2005 ; 22).
Stres adalah realita kehidupan setiap hari yang tidak dapat dihindari. Stres bukan sesuatu hal yang buruk dan menakutkan, tetapi merupakan bagian kehidupan. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak lepas dari stres, masalahnya adalah bagaimana hidup beradaptasi dengan stres tanpa  harus mengalami distres (Suliswati, 2005 ; 22).
Gangguan makan yang awalnya hanya dianggap sebagai masalah umum dalam masyarakat, bukanlah hanya sekedar gangguan biasa melainkan membutuhkan berbagai penanganan secara holistik dan pencegahan sedini mungkin untuk mencegah permasalahan menjadi meluas sehingga mengakibatkan komplikasi yang lebih parah pada organ tubuh lainnya.
 Menurut penelitian dari Universitas Florida di Gaines-ville, Amerika Serikat, makan akan mengaktifkan hipotalamus (bagian otak yang akan member sinyal kenyang), 10 menit sesudahnya. Tetapi pada pederita obesitas mekanisme ini tidak bekerja dengan baik sehingga mereka selalu makan dengan porsi yang jauh lebih banyak daripada orang yang tidak obesitas (Misnadiarly. 2007;10).

B.       Tujuan Penulisan
1.    Mampu memahami dan menjelaskan Model Konsep Stres Adaptasi Menurut Stuart.
2.    Mampu memahami dan menjelaskan Konsep dan Penanganan pada Pasien dengan Eating Disorder (Gangguan Makan).


                                                    













BAB II
PEMBAHASAN

A.  Model Konsep Stres Adaptasi menurut Stuart
     Report of the Surgeon General on Mentar Health adalah laporan dokter bedah umum yang pertama kali membicarakan topik kesehatan jiwa dan gangguan jiwa. Laporan ini berdasarkan kajian literatur ilmiah yang cukup banyak dan konsultasi dengan pemberi dan penerima layanan kesehatan jiwa (Stuart, Gail W. 2006; 25).

1.    Definisi kesehatan jiwa dan gangguan jiwa
     Sehat-sakit dan adaptasi-maladaptasi merupakan konsep yang berbeda. Tiap konsep berada pada rentang yang terpisah. Rentang sehat-sakit berasal dari sudut pandang medis. Rentang adaptasi-maladaptasi berasal dari sudut pandang keperawatan. Jadi, seseorang yang mengalami sakit baik fisik maupun jiwa dapat beradaptasi terhadap keaaaan sakitnya. Sebaliknya, seorang yang tidak diagnosis sakit mungkin memiiliki respons koping yang maladaptif. Kedua rentang ini menggambarkan modei praktit keperawatan dan medis yang saling melengkapi (Stuart, Gail W. 2006; 25).
a.    Kesehatan Jiwa
     Menurut Stuart, Gail W (2006; 25) hal-hal berikut ini telah diidentifikasi sebagai kriteria kesehatan jiwa.
1)   Sikap positif terhadap diri sendiri.
2)   Pertumbuhan, perkeriibangan, dan aktualisasi diri.
3)   Integrasi dan ketanggapan emosional
4)   Otonomi dan kemantapan diri
5)   Persepsi realitas yang akurat
6)   Penguasaan lingkungan dan kompetensi sosial
b.    Gangguan Jiwa
     Menurut Stuart, Gail W (2006; 26) pengertian seseorang tentang gangguan jiwa berasal dari apa yang orang tersebut yakini sebagai faktor penyebabnya. Hipotesis berikut ini telah di usulkan sebagai penyebab gangguan jiwa:
1)   Hipotesis biologi mengusulkan disfungsi anatomi dan fisiologi.
2)   Hipotesis pembelajaran mengusulkan pola perilaku maladaptif yang dipelajari.
3)   Hipotesisi kognitif mengusulkan ketidaksesuaian atau defisit pengetahuan atau kesadaran.
4)   Hipotesis psikodinamik mengusulkan konflik intrapsikis dan defisit perkembangan.
5)   Hiporesis lingkungan mengusulkan stresor dan respons terhadap penolakan lingkungan.

2.    Model praktik konseptual
     Banyak profesional kesehatan jiwa melakukan praktikk dalam kerangka model konseptual. Model adalah suatu cara mengorganisasi kumpulan pengetahuan yang kompleks seperti konsep yang berhubungan dengan perilaku manusia. Penggunaan model ini membantu klinis mengembangkan dasar untuk melakukan pengkajian dan intervennsi, juga memberikan cara untuk mengevaluasi keefektifan terapi. Beberapa model konseptual dikembangkan dalam praktik psikiatri.  Model dan ahli teori yang terkiit, pandangan mereka tentang penyimpangan perilaku,  proses terapeutik, serta peran pasien dan ahli terapi (Stuart, Gail W. 2006; 26).

3.    Model adaptasi  stres pada asuhan keperawatan jiwa Menurut Stuart
     Menurut Stuart, Gail W (2006; 26) perawat jiwa dapat bekerja lebih efektif jika tindakan mereak didasarkan pada suatu model yang mengenali adanya sehat atau sakit sebagai hasil dari berbagai karakteristik individu yang berinteraksi dengan faktor lingkungan. model Adaptasi Stres pada asuhan keperawatan jiwa menurut Struart mengintegrasikan aspek biologis, psikologis, sosiokultural, lingkungan, dan legal-etik keperawatan ke dalam kerangka praktik yang utuh. Model ini menggabungkan landasan teoretis, komponen biopsikososial, rentang respons koping, dan aktivitas keperawatan berdasarkan tahap pengobatan pasien: promosi kesehatan, pemeliharaan, akut dan krisis.

4.    Komponen biopsikososial
Menurut Stuart, Gail W (2005; 64) model ini terdiri atas komponen berikut:
a.    Faktor Predisposisi
     faktor predisposisi yaitu faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat digunakan individu untuk mengatasi stres, faktor predisposisi terdiri dari:

1)      Biologis
     Dapat mempengaruhi stres pada lansia yang dilihat dari: faktor keturunan, status nutrisi dan kesehatan.
2)      Psikologis
     Psikologi meliputi: kemampuan verbal, pengetahuan moral, personal terhadap diri sendiri, dorongan motivasi.
3)      Sosiokultural
     Menurut sosiokultural meliputi: faktor-faktor umur, jenis kelamin, pekerjaan, posisi sosial, latar belakang budaya, agama, serta pengetahuan.
b.    Stresor Prespitasi
     Stresor Prespitasi yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan, ancaman, atau tuntutan dan yang membutuhkan energi ekstra untuk koping. yang terdiri yaitu:
1)      Sifat yaitu bagaimana seorang lansia tersebut menghadapi tantangan/ancaman tersebut baik yang datang dari internal maupun eksternal.
2)      Asal yaitu ancaman/tantangan itu sendiri berasal dari keluarga itu sendiri apa lingkungan.
3)      Waktu yaitu kapan waktu ancaman/tantangan itu datang yang dapat mengancam lansia tersebut.
4)      Jumlah yaitu beberapa banyak jumlah ancaman itu yang datang kepada lansia.

c.    Penilaian terhadap stesor
     Penilaian terhdapa stesor yaitu evaluasi tentang makna stresor bagi kesejahteraan individu yang di dalamnya stresor memiliki arti, intensitas, dan kepentingan, yang terdiri dari:
1)      Kognitif yaitu respons yang ditunjukkan seperti perhatian terganggu, konsentrasi buruk, pelupa, bermasalah dalam berpikir dan kreativitas menurun.
2)      Afektif yaitu respons yang ditunjjukan seperti mudah terganggu, tidak sabaran, mudah gelisah, tegang, gugup dan ketakutan.
3)      Fisiologis yaitu respons yang ditunjukkan seperti kehilangan kesadaran, produktivitas menurun, ketegangan fisik dan tremor.
4)      Perilaku yaitu respons yang ditunjukkan seperti bicra cepat, kurang koordinasi, gelisah dan reaksi terkejut.
5)      Sosial yaitu respons yang ditunjukkan interaksi dengan orang lain.
d.   Sumber koping
     Stuart, Gail W (2005; 68) menyebutkan sumber koping merpakan cara individu menanggulangi stres juga sangat bergantung pada sumber yang tersedia dan pembatas-pembatas yang menghambat penggunaan sumber koping dalam konteks peristiwa tertentu.
     Sumber-sumber koping terdiri dari aset ekonomi, kemampuan dan bakat, teknik pertahanan, dukungan sosial, dukungan spiritual, keyakinan positif, pemecahan masalah, kemampuan sosial, kesehatan fisik, sumber materi sosial (Stuar, Gail W. 2005; 68).
     Keyakinan spiritual dan pandangan seseorang yang positif dapat ditujukan sebagai dasar dari harapan dan dapat membenarkan upaya koping seseorang dalam keadaan yang paling merugikan. Kemampuan pemecahan masalah termasuk kemampuan untk mencari informasi, mengidentifikasi masalah, menimbang satu pilihan, dan implementasi rencana tindakan. Kemampuan sosial memudahkan pemecahan masalah termasuk masalah orang lain, meningkatkan kemungkinan ketja sama dan dukungan tersebut. Aset materi menunjukkan kepaa uang, barang dan jasa dimana uang dapat membeli segalanya. Jelas sekali bahwa sumber keuangan sangat meningkat pada pilihan koping seseorang dimana hampir dalam situasi stres apapun (Stuar, Gail W. 2005; 68).
     Pengetahuan dan kecerdasan adalah sumber-sumber koping lainnya yang membolehkan orang-orang untuk melihat perbedaan cara dalam menghadapi stres. Sumber-sumber koping juga termasuk komitemne kekuatan indektitas ego kepada jaringan sosial. Kseimbangan budaya, sistem yang stabil dari nilai dan kepercayaan, orientasi pencegahan kesehatan dan generik atau kekuatan gerakan badan (Stuar, Gail W. 2005; 68).
e.    Mekanisme koping
     Mekanisme koping yaitu tiap upaya yang ditujukan untuk pentalaksanaan stres, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan ego yang digunakan untuk melindungi diri.
     Menurut Stuart, Gail W (2005; 68) menyatakan bahwa dalam menghadapi stressor ada tiga macam jenis koping, yaitu:
1)      Koping yang berpusat pada masalah
     Mekanisme koping yang berpusat pada masalah diarahkan untuk mengurangi tuntutan-tuntutan situasi yang menimbulkan stres atau mengembangkan sumber daya untuk mengatsinya.
2)      Koping yang berpusat pada kognitif
     Dimana seseorang berusaha untuk mengontrol masalh dan menyelesaikannya. Contohnya termasuk perbandingan yang positif, ketidak tahuan memilih, penggantian penghargaan, dan di evaluasi dari keinginan akan tujuan.
3)      Koping yang berpusat pada emosi
     Koping ini mengarah pada usaha reduksi, pembatsan atau menghulangkan atau toleransi stres subjektif  dari stres emosional yang muncul karena adanya transaksi dengan lingkungan yang menyulitkan
f.     Rentang respons koping-rentang respons manusia yang adaptif sampai maladaptif.
g.    Aktivitas tahap pengobatan-rentang fungsi keperawatan yang berhubungan dengan tujuan pengobatan, pengkajian keperawatan, intervensi keperawatan, dan hasil yang diharapkan.
Gambar 2.1 Komponen Biofisik dari Model Adaptasi Stres menurut Stuart dalam Stuart, Gail W (2006; 27).

Tabel 2.2
Model (Ilmual Terkemuka)
Pandangan tentang penyimpangan perilaku
Proses terapeutik
Peran pasien ahli terapi
Psikoanalitis (S. Freud, Erikson, Klein, Hoeney, Fromm-Reich-mann, Menninger)
Perilaku didasarkan pada awal perkembangan dan resolusi konflik perkembangan yang tidak adekuat. Pertahanan ego, tidak dapat mengontrol ansietas. Gejala timbul akibat upaya mengatasi ansietas dan berhubungan dengan konflik yang tidak terselesaikan.
Psikoanalisis menggunakan teknik asosiasi bebas, dan analisis mimpi. hal ini menginterpretasi perilaku, menggunakan transferens untuk memperbaiki pengalaman traumatik terdahulu, dan mengidentifikasi area masalah melalui interpretasi resistens pasien.
Pasien mengungkapkan semua pikiran dan mimpi serta mempertimbangkan interpretasi ahli terapi. Ahli terapi tetap mengupayakan perkembangan transferens dan menginterpretasi pikiran dan mimpi pasien dalam hal konflik transferens, dan resistens.
Interpersonal (Sullivan, Peplau)
Ansietas timbul dan dialami secaraa interpersonal. Rasa takut yang mendasar adalah takut terhadap penolakan. Seseorang membutuhkan rasa aman dan kepuasan yang diperoleh melalui hubungan interpersonal yang positif.
Hubungan antara ahli terapi dan pasien membangun perasaan aman. Ahli terapi membantu pasien membina hubungan saling percaya dan mendapatkan kepuasan interpersonal. kemudian pasien dibantu untuk mengembangkan hubunga akrab di luar situasi terapi.
Pasien menceritakan kecemasan dan perasaannya kepada ahli terapi. Ahli terapi menjalin hubungan akrab dengan pasien; menggunakan empati untuk merasakan perasaan pasien, dan menggunkan hubungan sebagai suatu pengalaman interpersonal korektif.
Sosial (Szasz, Caplan)
Faktor sosial dan lingkungan menimbulkan stres, yang menyebabkan ansietas, dan mengakibatkan timbulnya gejala. Perilaku yang tidak dapat diterima (menyimpang) diartikan secara sosial dan memenuhi kebutuhan sistem sosial.
Pasien dibantu untuk menghadapi sistemsosial. intervensi krisis dapat digunakan. Manipulasi lingkungan dan menunjukkan dukungan khusus juga diterapkan. Dukungan kelompok sebaya dianjurkan.
Pasien secara aktif menyampaikan masalahnya kepada ahli terapi dan bekerja sama dengan ahli terapi untuk menyelesaikan masalahnya. Menggunakan sumber yang ada di masyarakat. Ahli terapi mengkaji sistem sosial pasien menggunakan sumber yang tersedia atau menciptakan sumber baru.
Eksistensial (Peris, Glasser, Ellis, Rogers, Frankl).
Hidup akan bermakana bila seseorang dapat mengalami dan menerima diri sepernuhnya. Penyimpangan perilaku terjadi jika inidvidu gagal dalam upayanya menemukan dan menerima diri. Menjadi diri sendiri dapat dialami melalui hubungan murni dangan orang lain.
Individu dibantu untuk mengalami kemurnian hubungan. Terapi sering dilakukan dalam kelompok. Pasien dianjurkan untuk mengkaji dan menerima diri serta dibantu untuk mengendalikan perilakunya.
Pasien bertanggung jawab terhadap perilakunya dan berperan serta dalam suatu pengalaman yang berarti untu mempelajari tenang diri yang sebenarnya. Ahli terapi membantu pasien mengenal nilai diri. Ahli terapi mengklarifikasi realitas situasi dan mengenalkan pasien tentang perasaan tulus dan kesadaran diri.
Suportif (Werman, Rockland).
Masalah terjadi akibat faktor biopsikososial. Penekanan pada respons koping maladaptif saat ini.
Uji coba realitas dan tindakan peningkatan harga diri. Dukungan sosial diidentifikasi dan respons koping yang adaptif dikuatkan.
Pasien terlibat secara aktif dalam pengobatan. Ahli terapi menjalin hubungan yang hangat dan empati dengan pasien.
Komunikasi (Berne, Watzlawick)
Gangguan perilaku terjadi jika pesan tidak disampaikan dengan jelas.Bahasa dapat digunakan untuk merusak makan. Pesan dapat diteruskan secara serentak pada beberapa tingkatan. Pesan verbal dan nonverbal mungkin tidak selaras.
Pola komunikasi dianalisis dan umpan balik diberikan untuk mengklarifikasi area masalah. Analisis transaksinal berfokus pada permainan dan belajar cara berkomunikasi secara langsung tanpa sandiwara.
Pasien mempelajari pola komunikasi, termasuk permainan, dan bekerja untuk mengklarifikasi komunikasinya sen Wolpediri serta memvalidasi pesan dari orang lain. Ahli terapi menginterpretasi pola komunikasi kepada pasien dan mengajarkan prinsip-prinsip komunikasi yang baik.
Perilaku (Bandura, -Pavlov, Wolpe, Skinner).
Perilaku dipelajari, Penyimpangan terjadi karena individu telah membentuk kebiasaan perilaku yang tidak diinginkan. Karena perilaku dipelajari, perilaku juga dapat tidak dipelajari. Perilaku menyimpang dapat terus terjadi karena dapat mengurangi ansietas. Jika demikian, perilaku lain yang mengurangi ansietas dapat menjadi pengganti.
Terapi adalah proses pendidkan. Penyimpangan perilaku tidak dihargai, perilaku yang lebih produktif dikuatkan. Terapi relaksasi dan latihan asertif adalah pendekatan perilaku.
Pasien mepraktikkan teknik perilaku yang digunakan, melakukan pekerjaan rumah dan latihan penguatan. pasien membantu mengembangkan hierarki perilaku. Ahli terapi mengajarkan pasien tentang pendekatan perilaku, membantu mengembangkan hierarki perilaku, dan menguatkan perilaku yang diinginkan.
Medis (Meyer, Kraeplin, Spitzaer, Frances).
Gangguan perilaku yang disebabkan oleh penyakit biologis. Gejala-gejala timbul akibat kombinasi faktor-faktor fisiologis, genetik, lingkungan, dan sosial. Perilaku menyimpang berhubungan dengan toleransi pasien terhadap stres.
Diagnosis penyakit didasarkan pada kondisi yang ada dan informasi historis serta pemeriksaan diagnostik. Pengobatan meliputi terapi somatik dan farmakologis selain berbagai teknik interpersonal.
Pasien mengikuti program terapi yang dianjurkan dan melaporkan efek terapi kepada ahli terapi. pasien menjalani terapi jangka panjang jika diperlukan. Ahli terapi menggunakan terapi somatik dan terapi interpersonal. Ahli terapi menegakkan dan menentukan pendekatan terapeutik.
Sumber: Stuart (2006; 28-31)

5.    Fakta penting tentang gangguan jiwa
a.    Keluasan dan Keparahan Masalah
          Menurut Stuart, Gail W ( 2006; 32) keluasan dan keparahan masalah dalam gangguan jiwa adalah sebagai berikut :
1)   Spekhum menyeluruh gangguan jiwa memengaruhi 22% populasi dewasa tahun tertentu. Gambaran ini merujuk pada semua gangguan jiwa dan dapat dibandingkan dengan gangguan fisik didefinisikan dengari sama luas-nya (mis., gangguan pernapasan dialami oleh 50% orang dewasa ; penyakit kardiovaskular diderita oleh 20% orang dewasa).
2)   Gangguan jiwa berat (yaitu skizofrenia,.penyakit manik-depresif, dan bentuk depresi yang berat, gangguan panik, serta  obsesif-kompulsif) mempengaruhi 2,8% populasi dewasa (lebih krang 5 juta penduduk) dan bertanggung jawab untuk 25 % dana yang dikeluarkan pemerintah untuk disabilitas.
3)   Sedikitnya 7,5 juta anak-anak di Amerika Serikat berusia di bawah 18 tahun mengalami masalah kesehatan jiwa yang cukup berat sehinngga memerlukan terapi.
4)   Lebih kurang l8 juta penduduk di Amerika Serikat berusia 18 tahun dan yang lebih tua mengalami masalah akibat penggun.aan alkohol; 10,6 juta dari mereka menderita alkoholisme.
5)   Kebanyakan individu yang kecanduan alkohol mengalami kemajuan dalam terapi dan membuktikan bahwa terapi alkoholisme efektif dengan dana yang memadai dalam sistem perawatan kesehatan dan produktivitas tenaga kesehatan yang meningkat.
6)   Diperkirakan 23 juta penduduk di Amerita Serikat saat ini menggunakan obat terlarang.

b.    Kefektifan Terapi
Seberapa efektif terapi.pada gangguan jiwa yang berat dibandingkan dengan terapi pada penyakit fisik? (Tabel 2.3)
Gangguan
Angka Keberhasilan Terapi (1%)
Panik
80
Bipolar
80
Depresi Mayor
65
Skizofrenia
60
Obsesif-kompulsif
60
Terapi kardiovaskular :
Aterektomi
Angioplasti

52
41
   Sumber : National Advisory Mental Healt Council: Am J Psychiatry 150: 1447, 1993 dalam Stuart, Gail W (2006; 32).


6.    Tahap aktivitas pengobatan keperawatan jiwa
     Berikut ini adalah tahap aktivitas pengobatan keperawatan jiwa menurut Stuart (2006; 33) antara lain (Tabel 2.4) :
Tahap pengobatan
Tujuan pengobatan
Pengkajian keperawatan
Intervensi keperawatan
Hasil yang diharapkan
Krisis

Stabilitas

Faktor risiko

Pengelolaan Lingkungan

Tidak membahayakan diri sendiri.
Akut

Remisi.

Gejala dan Respons Koping.

Perencanaan Pengobatan Timbal Balik, Modeling, dan Penyuluhan.
Gejala Hilang.

Pemeliharaan

Pemulihan
Status Fungsional.
Penguatan dan Advokasi.
Perbaikan fungsi.
Promosi Kesehatan

Tingkat Kesehatan Optimal.
Kualitas Hidup dan Ksejahteraan
Inspirasi dan Validasi.
Mencapai Kualitas Hidup Optimal


B.     Gangguan Makan
1.      Pengertian dan jenis-jenis gangguan makan
Pengaturan pola makan untuk menurunkan berat badan merupakan hal umum, dan keinginan banyak orang terutama kaum perempuan untuk bertubuh langsing. Melihat minat yang sangat besar terhadap makanan dan makan itu sendiri, tidak mengherankan bahwa aspek perilaku manusia ini dapat mengalami gangguan. Gangguan klinis mengenai gangguan makan tercantum dalam DSM untuk pertama kalinya pada tahun 1980 sebagai suatu subkategori gangguan yang bermula pada masa kanak-kanak atau remaja (Davidson, 2006 ; 340).
Kriteria DSM-IV-TR untuk Anoreksia Nervosa : Menolak untuk mempertahankan berat badan normal, Meskipun berat badannya sangat kurang, namun mengalami ketakutan yang amat sangat menjadi gemuk, Gangguan citra tubuh, Pada perempuan yang telah mengalami mentruasi terjadi amenorea (Davidson, 2006 ; 340).
a.       Anoreksia Nervosa
Istilah anoreksia berarti hilangnya selera makan, dan nervosa mengindikasikan bahwa hilangnya selera makan tersebut memiliki sebab emosional. Istilah itu sendiri tidak tepat karena sebagian besar pasien yang menderita anoreksia nervosa secara aktual tidak kehilangan selera makan atau selera mereka terhadap makanan. Secara kontras, seraya melaparkan diri sendiri, sebagian besar pasien gangguan ini sibuk dengan urusan makanan, mereka dapat membaca buku-buku masakan secara konstan dan menyiapkan aneka makanan untuk keluarga mereka (Davidson, 2006 ; 340).
Menurut Garfinkel (1996 dalam Davidson. 2006 ; 340) ada 4 ciri yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis anoreksia nervosa :
1)      Orang yang bersangkutan menolak untuk mempertahankan berat badan normal. Penurunan berat badan biasanya dicapai melalui diet, meskipun pengurasan (muntah dengan sengaja, penggunaan obat pencahar secara berlebihan atau diuretik) dan olahraga yang berlebihan.
2)      Orang yang menderita anoreksia nervosa sangat takut bila berat badan bertambah, dan rasa takut tersebut tidak berkurang dengan turunnya berat badan. Mereka tidak pernah merasa sudah cukup kurus.
3)      Penderita anoreksia memiliki pandangan yang menyimpang tentang bentuk tubuh mereka. Bahkan dalam kondisi kurung kering mereka tetap merasa bajwa mereka kelebihan berat badan atau beberapa bagian tubuh tertentu khususnya perut, pantat dan paha terlalu gemuk. Untuk mengecek berat badan biasanya mereka menimbang, mengukur berbagai bagian tubuh dan mengamati secara klinis tubuh mereka dicermin. Harga diri mereka sangat terkait dengan menjaga tubuh mereka tetap kurus.
4)      Pada perempuan, kondisi tubuh yang sangat kurus menyebabkan amenorea, yaitu berhenti periode mentruasi.
Distorsi citra tubuh yang menyertai anoreksia nervosa dapat diukur dengan berbagai cara, umumnya menggunakan kuesioner seperti Eating Disorders Inventory (Garner, Olmsted & Polivy, 1983). Dalam jenis pengukuran lain, pasien ditunjukkan sebaris gambar perempuan dengan berat badan yang bervariasi dan diminta untuk memilih gambar yang paling mendekati berat badan mereka dan satu gambar yang mencerminkan bentuk tubuh ideal bagi mereka. Pasien yang menderita anoreksia cukup akurat menuturkan berat badan mereka yang sebenarnya (McCabe, Mcgarlane, Polivy & Olmsted, 2001 dalam Davidson. 2006 ; 341).
Tabel 2. 5 Subskala dan contoh beberapa item dalam Eating Disorder Inventory
Dorongan untuk kurus
Saya berpikir tentang melakukan diet.
Saya merasa sangat bersalah setelah makan berlebihan
Saya asyik dengan keinginan menjadi lebih kurus.
Bulimia
Saya menjejali diri dengan makanan.
Saya meneruskan makan ketika saya merasa tidak dapat berhenti.
Saya berpikir untuk mencoba memuntahkannya agar berat badan berkurang.
Ketidakpuasan tubuh
Saya berpikir bahwa paha saya terlalu besar.
Saya berpikir bahwa pantat saya terlalu besar.
Saya berpikir bahwa pinggul saya terlalu besar.
Ketidakefektifan
Saya merasa tidak cukup.
Saya mempunyai penilaian yang rendah terhadap diri saya.
Saya merasakan kehampaan dari dalam (secara emosional)
Perfeksionism
Hanya penampilan yang terkenal cukup bagus dalam keluarga saya sebagai seorang anak, saya berusaha keras agar tetap tidak mengecewakan orangtua dan guru saya.
Saya benci menjadi yang terjelek dalam segala hal.
Ketidakpercayaan dalam diri
Saya bermasalah dalam mengekspresikan perasaan saya kepada orang lain.
Saya perlu menjaga jarak dengan orang lain (merasa tidak nyaman jika ada seseorang yang mencoba terlalu dekat).
Kesadaran Interoseptif
Saya merasa bingung dengan emosi yang saya rasakan
Saya tidak tahu apa yang terjadi dalam diri saya.
Saya merasa bingung apakah saya lapar atau tidak.
Takut pada kedewasaan
Saya berharap dapat kembali pada masa kecil yang aman.
Saya merasa bahwa orang yang paling bahagia ketika mereka masih anak-anak.
Tuntutan masa dewasa terlalu besar.
Sumber : Garner, Olmsted, dan Polivy (1983, dalam Davidson. 2006 ; 357)
Catatan : jawaban menggunakan skala 6 poin berkisar dari selalu hingga tidak pernah.

DSM-IV-TR membedakan dua tipe anoreksia nervosa. Dalam tipe terbatas, penurunan berat badan dicapai dengan sangat membatasi asupan makanan ; dalam tipe makan berlebihan-pengurasan, penderita secara rutin makan secar berlebihan dan kemudian mengeluarkannya. Subtipe makan berlebihan-pengurasan tampaknya lebih bersifat psikopatologis, para pasien menunjukkan gangguan kepribadian, perilaku impulsif, mencuri, penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan, menarik diri daei pergaulan sosial, dan upaya bunuh diri lebih banyak dibanding para penderita anoreksia tipe terbatas (Herzog dkk. 2000 dalam Davidson. 2006 ; 342).
Para pasien anoreksia nervosa seringkali didiagnosis dengan depresi, gangguan obsesif-kompulsif, fobia, gangguaan panik, alkoholisme dan berbagai gangguan kepribadian (Godart ; Ivarsson 2000 dalam Davidson, 2006 ; 342). Laki-laki yang menderita anoreksia nervosa juga memiliki kemungkinan didiagnosis menderita gangguan mood, skizofrenia atau ketergantungan zat (Striegel-Moore dkk, 1999 dalam davidson. 2006 ; 342).
1)      Anoreksia Nervosa dan Depresi
Beberapa peneliti mempertimbangkan kemungkinan bahwa anoreksia menyebabkan depresi, antara lain melalui perubahan biokimia yang disebabkan oleh kelaparan atau rasa bersalah dan rasa malu yang menyertainya. Berbagai studi menunjukkan bahwa kerabat pasien yang menderita anoreksia berisiko tinggi menderita depresi dan tanggung jawab genetik dalam anoreksia (Wade, 2000 dalam Davidson 2006 ; 342). Disisi psikologis, penelitian juga menemukan bahwa perempuan yang menderita anoreksia dan mengalami depresi memiliki gaya atribusional depresif.
2)      Perubahan Fisik dalam Anoreksia Nervosa
Tekanan dara seringkali turun, denyut jantung melambat, ginjal dan sistem pencernaan jadi bermasalah, massa tulang berkurang, kulit mengering, kuku jari menjadi mudah patah, kadar hormon berubah dan dapat terjadi anemia ringan. Beberapa pasien mengalami kerontokan rambut dan memiliki lanugo yaitu buku-buku lembut dan halus ditubuh mereka. Garam terionisasi, proses transmisi dan kadar yang rendah dapat mengakibatkan kelelahan, lemah, aritmias kardiak dan bahkan kematian mendadak. Abnormalitas EEG dan hendaya neurologis sering terjadi pada pasien anoreksia (Garner ; Lambe dkk. 1997 dalam Davidson, 2006 ; 343). Perubahan struktur otak seperti rongga yang meluas atau pelebaran sulcar juga dapat terjadi namun dapat diperbaiki (Hofman, 1989 dalam Davidson, 2006 ; 343)
3)      Prognosis
Sekitar 70% pasien anoreksia dapat sembuh selama 6-7 masa penyembuhan dan kekambuhan umum terjadi sebelum tercapainya pola makan yang stabil dan dipertahankannya berat badan (Strober, Freeman & Morrel, 1997). Anoreksia nervosa merupakan penyakit yang mengancam jiwa, angka kematian sepuluh kali lebih besar pada para pasien yang menderita penyakit tersebut dibandingkan pada populasi umum dan dua kali lebih besar dibanding para pasien dengan komplikasi fisik penyakit tersebut, contohnya sesak napas karena gagal jantung dan bunuh diri (Herzog, 2000 dalam Davidson, 2006 ; 343).

b.      Bulimia Nervosa
Bulimia berasal dari bahasa yunani yang berarti “lapar seperti sapi jantan”. Gangguan ini mencakup periode konsumsi sejumlah besar makanan secara tepat, diikuti dengan perilaku kompensatori, seperti muntah, puasa atau olahraga berlebihan untuk mencegah bertambahnya berat badan (Davidson, 2006 ; 343).
Pada bulimia, makan berlebihan biasanya dilakukan secara diam-diam dapat dipicu oleh stres dan berbagai emosi negatif yang ditimbulkannya, dan terus berlangsung hinggga orang yang bersangkutaan merasa sangat kekenyangan (Grilo, Shiffman & Carter-Campbell, 1994 dalam Davidson, 2006 ; 344).
Seperti halnya anoreksia, terdapat dua subtipe bulimia nervosa : tipe pengurasan dan tipe non-pengurasan dimasa perilaku kompensatori adalh berpuasa atau olahraga berlebihan. Bukti-bukti bagi validitas pembedaan tipe tersebut bervariasi. Dalam beberapa studi, orang-orang yang didiagnosis menderita bulimia non-pengurasan memiliki berat badan lebih besar, lebih jarang makan berlebihan dan menunjukkan lebih sedikit psikopatologi dibanding orang-orang yang menderita bulimia tipe pengurasan (Mitchell, 1992 dalam Davidson, 2006 ; 345).
Bulimia nervosa dikaitkan dengan sejumlah diagnosis lain, terutama depresi, gangguan kepribadian (terutama gangguan kepribadian borderline), gangguan ansietas, penyalahgunaan zat dan tingkah laku (Godart dkk, 2000 dalam Davidson, 2006 ; 345).
1)      Perubahan Fisik dalam Bulimia Nervosa
Bulimia terkait dengan beberapa efek samping pada fisik, meskipun lebih jarang dibanding pada anoreksia, menstruasi yang tidak teratur, termasuk amenorea dapat terjadi meskipun para pasien bulimia biasanya memiliki Indeks Massa Tubuh Normal (Gendall dkk, 2000 dalam Davidson. 2006 ; 345). Selain itu seringnya pengurasan dapat menyebabkan kekurangan potasium. Penggunaan obat pencahaar berlebihan menyebabkan diare, perubahan elektrolit, dan denyut jantung menjadi tidak teratur
Muntah secara berulang dihubungkan dengan masalah menstruasi dapat menyebabkan jaringan lambung dan tenggorokan serta hilangnya enamel gigi ketika asam lambung merusak gigi yang kemudian menjadi berlubang, kelenjar ludah membengkak. Kematian jauh lebih sedikit pada bulimia nervosa dibanding pada anoreksia nervosa (Herzog dkk, 2000 dalam Davidson, 2006 ; 346).
2)      Prognosis
Pemantauan jangka panjang pada para pasien bulimia nervosa mengungkap bahwa 70% memperoleh kesembuhan, meskipun sekitar 10% tetap sepenuhnya simtomatik (Reas dkk, 2000). Para pasien bulimia nervosa yang lebih sering makan berlebihan dan muntah, komorbid dengan penyalahgunaan zat ataau memiliki riwayat depresi memiiki prognosis lebih buruk dibanding pasien tanpa faktor-faktor tersebut (Wilson, dkk. 1999 dalam Davidson. 2006 ; 346).





c.       Gangguan Makan Berlebihan
DSM-IV-TR mencantumkan gangguan makan berlebihan sebagai satu diagnosis yang memerlukan studi lebih jauh dan bukan sebagai diagnosis resmi. Gangguan ini mencakup makan berlebhan yang berulang (dua kali seminggu selama sekurang-kurangnya enam bulan), kurangnya kontrol diri selama episode makan berlebihan dan merasa tertekan karena makan berlebihan serta berbagai karkteristik lain seperti makan dengan cepat dan makan diam-diam. Kondisi ini dibedakan dari anoreksia nervosa dalam hal tidak terjadinya penurunan berat badan dan dari bulimia nervosa dalam hal tidak adanya perilaku kompensatori (pengurasan, berpuasa atau olahraga berlebihan) (Davidson, 2006 ; 346).
Gangguan makan berlebihan memiliki ciri yang mendukung validitasnya. Gangguan ini lebih sering terjadi pda perempuan dibanding pada laki-laki dan dihubungkan dengan obesitas dan riwayat melakukan diet (Pike dkk, 2001 dalam Davidson, 2006 ; 346). Gangguan ini dikaitkan dengan hendaya fungsi pekerjaan dan sosial, depresi, harga diri yang rendah, penyalahgunaan zat dan ketidakpuasan atas bentuk tubuh.  Faktor-faktor risiko terbentuknya gangguan makan berlebihan mencakup obesitas pada masa kanak-kanak, komentar-komentar bernada mengkritik atas berat badan yang berlebihan, konsep diri yang rendah, depresi dan penyiksaan fisik atau seksual pada masa kanak-kanak (Fairburn dkk, 1998 dalam Davidson, 2006 ; 346).

2.      Etiologi gangguan makan
a.       Faktor-faktor biologis
1)      Genetik
Anoreksia nervosa dan bulimia nervosa dapat terjadi dalam satu keluarga. Kerabat tingkat pertama dari perempuan muda yang menderita anoreksia nervosa memiliki kemungkinan sepuluh kali lebih besar dibanding rata-rata untuk menderita gangguan tersebut, sedangkan bulimia nervosa memiliki kemungkinan sekitar empat kali lebih besar untuk menderita bulimia nervosa (Strober dkk, 2000 dalam Davidson 2006 ; 347).
Studi terhadap orang kembar terkait gangguan makan juga menunjukkan pengaruh genetik. Sebagian besar menujukkan tingkat kesesuaian yang lebih tinggi pada kembar MZ dibanding DZ (Fichter & Naegel, 1990) dan gen memiliki pengaruh yang lebih besar pada orang-orang kembar yang menderita gangguan makan dibandingkan dengan faktor lingkungan (Wade dkk, 2000 dalam Davidson, 2006 ; 347)
2)      Gangguan makan dan otak
Hipotalamus adalah pusat otak yang penting dalam pengaturan rasa lapar dan makan. Penelitian paa hewan yang mengalami lesi pada lateral hipotalamus mengindikasikan bahwa mereka mengalami penurunan berat badan dan tidak memiliki selera makan (Hoebel & Teitelbaum, 1999). Dengan demikian tidak mengherankan bila hipotalamus dianggap berperan dalam anoreksia, kadar bebrapa hormon yang diatur oleh hipotalamus seperti kortisol memang tidak normal pada penderita anoreksia, namun bukan merupakaan penyebab anoreksia, melainkan merupakan akibat kondisi melaparkan diri sendiri dan kadarnya kembali normal seiring dengan bertambahnya berat badan (Stoving dkk, 1999). Hipotalamus yang mengalami disfungsi tampaknya tidak memiliki kemungkinan besar sebagai faktor dalam anoreksia nervosa (Davidson, 2006 ; 348).
Opioid endogenus adalaah zat yang diproduksi tubuh yang mengurangi sensasi sakit, meningkatkan mood dan menekan selera makan. Opioid diproduksi dalam keadaan kelaparan dan dianggap berperan dalam anoreksia dan bulimia namun dengan cara yang berbeda. Kelaparan pada pasien anoreksia dapat menaikkan kadar opioid endogenus yang menyebabkan kondisi eforia yang memberikan penguatan positif (Davis, 1996 dalam Davidson, 2006 ; 348).
Beberapa penelitian menfokuskan pada beberapa neurotransmitter yang berhubungan dengan makan dan rasa kenyang. Serotinin menyebabkan rasa kenyang, asupan makanan memengaruhi sintesis serotinin didalam otak. Dengan demikian, pasien anoreksia asupan makanan yang sangat terbatas dapat menghambat sistem serotinin. Beberapa studi menemukan kadar metabolit serotinin yang rendah pada pasien anoreksia. Terkait bulimia, bukti-bukti yang ada tampaknya lebih konsisten, dimana sebagian besar temua menunjukkan turunnya kadar metabolit serotinin (Carrasco dkk, 2000 dalam Davidson 2006 ; 349).
b.      Pengaruh Sosiokultural
Secara cukup paradoksikal, sementara standar budaya bergerak kearah tubuh yang kurus selama paruh waktu akhir abad ke-20, semakin banyak orang yang mengalami kelebihan berat badan. Prevalensi obesitas meningkat dua kali lipat sejak tahun 1900. Dewasa ini, 20-30% penduduk Amerika mengalami kelebihan berat badan, mungkin karena lebih banyaknya makanan dan gaya hidup yang tidak aktif dan menjadi awal tahap konflik yang semakin besar antara bentuk tubuh ideal dan realitas berdasarkan budaya (Davidson. 2006 ; 350).
Seiring semakin sadarnya masyarakat terhadap kesehatan dan kegemukan, pengaturan mankan untuk menurunkan berat badan menjadi suatu hal yang umum, jumlah orang-orang yang menjalani pengaturan makan meningkat dati 7% pada kaum laki-laki dan 14% pada kaum perempuan pada tahun 1950 menjadi 29% pada kaum laki-laki dan 44% pada kaum perempuan pada tahun 1999 (Serdula dkk, 1999 dalam Davidson, 2006 ; 350).
Tubuh kurus yang ideal berdasarkan standar sosiokultural kemungkinan merupakan sarana yang membuat orang-orang yang mempelajari rasa takut menjadi gemuk atau bahkan merasa gemuk. Selain menciptakan bentuk fisik yang tidak diinginkan menjadi gemuk memiliki konotasi negatif seperti ketidaksuksesan dan kurang memiliki kontrol diri (DeJong & Kleck, 1986 dalam Davidson. 2006 ; 351).
1)      Pengaruh gender
Salah satu alasan utama atas prevalensi gangguan makan yang lebih besar pada akum perempuan kemungkinan adalah fakta bahwa standar budaya masyarakat Barat menguatkan keinginan untuk menjadi kurus pada perempuan dibanding laki-laki. Selain itu nilai-nilai sosiokultural mendorong objektivitasi tubuh perempuan sedangkan kaum laki-laki lebih dihargai berdasarkan berbagai keberhasilan mereka. Risiko gangguan makan pada kelompok perempuan yang sangat peduli terhadap berat badan misalnya para model, penari dan pesenam sangat tinggi (Garner dkk. 1980 dalam Davidson, 2006 ; 353)
2)      Berbagai studi lintas budaya
Gangguan makan lebih banyak terjadi dalam masyarakat industry seperti Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Australian dan Eropa dibandingkan Negara nonindustri. Dalam suatu studi epidemiologis yang dilakukan di Swiss, insiden Anoreksia Nervosa meningkat empat kali lipat dari tahun 1950-an hingga tahun 1970-an (Will & Grossman, 1983 didalam Davidson, 2006 ; 353). Dari berbagai studi juga ditemukan bahwa bila perempuan yang berasal dari masyarakat dengan tingkat prevalensi gangguan makan yang rendah pindah ke masyarakat dengan tingkat prevalensi tinngi, maka prevalensi mengalami kenaikan (Nasser, 1986 ; Yates, 1989 dalam Davidson, 2006 ; 353).
Dalam suatu studi yang memperkuat perkiraan tentang perbedaan persepsi citra tubuh diantara berbagai budaya, para mahasiswa Uganda dan Inggris menilai daya tarik gambar-gambar perempuan telanjang yang berkisar antara sangat kurus hingga sangat gemuk (Furham & Baguma, 1994 dalam Davidson 2006 ; 354). Para mahasiswa Uganda menilai perempuan yang obesitas lebih menarik dibandingkan penilaian para mahasiswa Inggris.
Dengan demikian, variasi antarberbagai budaya dalam prevalensi gangguan makan tetap merupakan suatu pendapat dan kadang kontrversional. Contohnya Lee (1994) menjelaskan suatu gangguan mirip dengan anoreksia nervosayang terjadi diberbagai Negara nonindustri di Asia (India, Malaysia, Filipina). Gangguan ini ditandai dengan tubuh yang sangat kurus, menolak makan dan amenorea namun tidak disertai rasa takut menjadi gemuk (Davidson, 2006 ; 354).
3)      Perbedaan etnik
Di Amerika Serikat, pernah dilaporkan bahwa insiden anoreksia delapan kali lebih banyak terjadi pada perempuan kulit putih dibandingkan perempuan kulit bewarna (Dola, 1991 dalam Davidson, 2006 ; 354) Berbagai studi menunjukkan bahwa gadis remaja menjalani diet dibanding gadis remaja Afrika Amerika dan lebih mungkin merasa tidak puas dengan bentuk tubuh mereka (Moore dkk, 2000 dalam Davidson, 2006 ; 354).
Kelompok etnis bukan merupakan satu-satunya variable penting dalam berbagai perbedaan tersebut. Kelas sosial juga merupakan hal penting (Caldwell, Brownell & Wilfley, 1997 ;  French dkk , 1997 dalam Davidson, 2006 ; 355).
c.       Pandangan psikodinamika
Terdapat banyak teori psikodimanika mengenai gangguan makan, sebagian besar bependapat bahwa penyebab utamanya terdapat dalam hubungan orang tua-anak yang terganggu dan sepakat bahwa beberapa karakteristik kepribadian penting. Seperti harga diri rendah dan perfeksionisme ditemukan pada individu yang memiliki gangguan makan. Berbagai teori psikodinamika juga menyatakan bahwa simtom-simtom gangguan makan menjadi suatu pemenuhan bagi beberapa kebutuhan seperti meningkatkan rasa efektivitas diri melalui keberhasilan mempertahankan diet ketat atau tidak tumbuh secara seksual dengan menjadi sangat kurus sehingga tidak mencapai bentuk tubuh seorang perempuan pada umumnya (Goodsitt, 1997 dalam Davidson, 2006 ; 353).
Salah satu pandangan yang diterima luas, dikemukakan oleh Hilde Bruch (1980 dalam Davidson. 2006 ; 355) menyatakan bahwa anoreksia nervosa merupakan upaya yang dilakukan anak-anak yang dibesarkan dengan cara yang membuat mereka merasa tidak efektif untuk memperoleh kompetensi dan penghargaan dan untuk menghilangkan rasa tidak berguna, tidak efektif dan tidak berdaya.
Perasaan tidak efektif tersebut diyakini muncul akibat pola asuh yang memaksakan keinginan orangtua pada anak tanpa mempertimbangkan kebutuhan atau keinginan si anak. Contohnya orang tua secara sepihak menentukan kapan anak merasa lapar atau lelah dan tidak dapat mengenali kondisi aktual si anak. Anak-anak yang dibesarkan dengan cara ini tidak belajar untuk mengidentifikasi kondisi internal mereka sendiri dan menjadi tidak mandiri. Menghadapi berbagai tantangan dimasa remaja, si anak terjebak pada penekanan sosial mengenai kelangsingan tubuh dan mengubah diet menjadi alat untuk memperoleh kendali dan identitas. Terlebih lagi persepsi diri negatif tentang berat badan digunakan sebagi sudut pandang untuk melihat berbagai aspek lain dalam dirinya sehingga berkontribusi terhadap keseluruhan penilaian diri yang rendah.
Teori psikodinamika lain dijelaskan oleh Goodsitt (1997 dalam Davidson, 2006 ; 356) menyatkan bahwa bulimia nervosa pada perempuan berakar dari kegagalan untuk mengemabngkan kesadaran diri yang adekuat karena hubungan ibu-anak yang dipenuhi konflik. Makanan menjadi simbol kegagalan hubungan tersebut. Makan berlebihan dan pengurasan yang dilakukan si anak mencerminkan konflik antara kebutuhan akan ibu dan keinginan untuk menolak ibu.
d.      Kepribadian dan gangguan makan
Banyak studi yang mengukur kepribadian terkini para penderita gangguan makan mengacu pada hasil berbagai kuesioner kepribadian yang telah diakui seperti MMPI. Para pasien yang menderita anoreksia maupun bulimia memilki tingkat neurotisme dan kecemasan yang tinggi dan harga diri yang rendah (Davidson, 2006 ; 346).
Para penderita anoreksia nervosa menuturkan mengalami depresi, isolasi sosial dan kecemasan sedangkan para penderita bulimia nervosa menunjukkan psikopatologi yang lebih luas dan serius, mendapatkan skor lebih tinggi dari para penderita anoreksia nervosa dalam beberapa skala MMPI (Vitousek & Manke, 1994 dalam Davidson, 2006 ; 357).
Data dari beberapa studi mengenai kepribadian orang-orang yang menderita gangguan makan cukup konsisten dengan teori psikodinamika. Para penderita gangguan makan secara konsisten diketahui memiliki harga diri rendah. Terlebih lagi sejalan dengan teori Bruch, para penderita anoreksia nervosa cenderung patuh, terhambat, dan perfeksionis. Berbagai temua oleh Leon dan para koleganya bahwa kurangnya kesadaran interoseptif memprediksi risiko gangguan makan menegaskan pemikiran Bruch bahwa orang-orang tersebut kurang mampu mengindentifikasi kondisi internal diri sendiri (Garner dkk, 1983 dalam Davidson, 2006 ; 358).
e.       Karakteristik keluarga
Suatu studi menguji pasien gangguan makan dan para orangtua mereka dengan menggunakan tes yang dirancang untuk mengukur rigitas, kedekatan, keterlibatan emosional yang berlebihan, berbagai komentar kritis dan permusuhan. Terdapat variasi besar dalam berbagai keluarga tersebut dalam kaitan apakah orangtua terlalu banyak turut campur dalam urusan anak-anaknya, para keluarga memiliki tingkat kritik dan permusuhan yang rendah (Dare dkk, 1994 dalam Davidson, 2006 ; 358).
f.       Penyiksaan anak dan gangguan makan
Beberapa studi mengindentifikasi bahwa penuturan diri tentang pelecehan seksual dimasa kanak-kanak lebih tinggi dari normal diantara pasien dengan gangguan makan terutama bulimia nervosa (Webster & Palmer, 2000 dalam Davidson, 2006 ; 359). Penelitian juga menemukan angka pelecehan fisik dimasa kanak-kanak yang lebih tinggi dikalangan pasien gangguan makan. Pelecehan yang terjadi pada usia yang sangat awal melibatkan unsur paksaan dan dilakukan oleh anggota keluarga dapat memiliki hubungan yang lebih kuat dengan gangguan makan dibanding jenis pelecehan lainnya (Davidson, 2006 ; 360).
g.      Pandangan kognitif-perilaku
1)      Anoreksia nervosa
Rasa takut terhadap kegemukan dan gangguan citra tubuh dihipotesiskan sebagai faktor-faktor yang memotivasi yang menjadikan kondisi melaparkan diri sendiri dan penurunan berat badan sebagai penguat yang penuh upaya. Perilaku untuk mencapai atau mempertahankan tubuh kurus diperkuat secara negatif dengan berkurangnya kecemasan akan menjadi gemuk. Diet dan penurunan berat badan dapat diperkuat secara positif dengan perasaan memiliki menguasai atau kontrol diri yang ditimbulkan. Faktor lainnya adalah kritikan dari kawan sebaya dan oarang tua tentang kelebihan berat badan yang dialaminya (Davidson, 2006 ; 360).
2)      Bulimia nervosa
Skema 2.6 : Teori kognitif perilaku tentang bulimia nervosa menurut Davidson (2006 ;  361).

3.      Komplikasi Medis Gangguan Makan  (Videbeck, 2008; 617)
Tabel 2.7 : Komplikasi medis gangguan makan
Sistem tubuh
Gejala
Berhubungan dengan penurunan berat badan
Muskuloskeletal
Kehilangan massa otot, kehilangan lemak, osteoporosis, dan fraktur patologis.
Metabolik
Hipotiroidisme gejalanya termasuk kurang energi, kelemahan, intoleransi terhadap dingin dan bradikardial, hipglikemia, dan penurunan sensitivitas insulin.
Jantung
Bradikardia, hipotensi, kehilangan otot jantung , jantung mengecil, aritmia jantung(termasuk kontraksi prematur atrium dan ventrikel, interval QT memanjang, takikardi ventrikel), dan kematian tiba-tiba.
Gastrointestinal
Penundaan pengosongan lambung, kembung, konstipasi, nyeri abdomen, gas, dan diare.
Reproduksi
Amenore dan kadar luteinizing hormone  dan follicle stimulating hormone rendah.
Dermatologi
Kering, kulit pecah-pecah karena dehidrasi, lanugo (yaituu rambut halus pada tubuh janin), edema, dan akrosianosis (yaitu tangan dan kaki biru).
Hematologi
Leukopenia , anemia, trombositopenia, hiperkolesterolemia, dan hiperkarotenemia.
Neuropsokiatri
Sensasi pengecapan abnormal, depresi apatis, gejala gangguan jiwa organik ringan, dan ganguan tidur.
Berhubungan dengan pengurasan (muntah dan penyalahgunan laksatif
Metabolik
Abnormalitas elektrolit, terutama hipokalemia, alkalosis hipokloremik, hipomagnesemia, dan peningkatan BUN.
Gastrointestinal
Pembesaran dan inflamasi kelenjar saliva dan pankreas disertai peningkatan amilase serum erosi atau ruptur esofagus dan lambung, disfungsi usus, dan sindrom arteri mesenterika superior.
Gigi
Erosi email gigi (perimiolisis), tertama gigi depan.
Neuropsikiatri
Kejang (berhubungan dengan perpindahan cairan  secara besar-besaran dan gangguan elektrolit),  neuropati ringan, keletihan, kelemahan, dan gejala gangguan jiwa organik ringan

4.      Penanganan gangguan makan
Perawatan di rumah sakit, yang kadang dijalani dengan terpaksa seringkali diperlukan untuk menangani pasien anoreksia agar asupan makanan pasien dapat ditingkatkan secara bertahap dan dipantau dengan teliti. Berat badan dapat sangat kurang sehingga diperlukan pemberian makan melalui infus untuk menyelamatkan pasien (Davidson, 2006 ; 362).
a.       Penanganan biologis
Pada penderita bulimia nervosa seringkali komorbid dengan depresi, gangguan ini ditangani dengan berbagai antidepresan. Fluoksetin ternyata lebih memberikan hasil dibanding plasebo untuk mengurangi makan berlebihan dan muntah, juga mengurangi depresi dan sikap yang menyimpang terhadap makanan dan makan (Davidson, 2006 ; 363).
Obat-obatan juga digunakan dalam upaya menangani anoreksia nervosa, hanya saja tidak berhasil. Sangat sedikit keberhasilan dengan obat-obatan untuk meningkatkan berat badan secara signifikan, juga tidak mengubah gejala-gejala utama anoreksia atau memberikan manfaat tambahan yang signifikan dalam program standar penanganan pasien rawat inap (Attia dkk, 1998 dalam Davidson, 2006 ; 363).
b.      Penanganan psikologis anoreksia nervosa
Terapi bagi anoreksia diyakini sebagai suatu proses dua tahap. Tujuan jangka pendeknya adalah membantu pasien menambah berat badan untuk mencegah komplikasi medis dan kemungkinan kematian. Program terapi perilaku operant-conditioning cukup berhasil untuk menambah berat badan dalam jangka pendek (Hsu, 1991 dalam Davidson, 2006 ; 363). Tujuan kedua adalah mempertahankan pertahanan berat badan dalam jangka panjang belum dicapai secara reliabel melalui berbagai intervensi medis, perilaku atau psikodinamika tradisional (Wilson, 1995 dalam Davidson, 2006 ; 363).
Terapi keluarga merupakan bentuk penanganan utama untuk anoreksia nervosa. Minuchin dan para koleganyya berpendapat bahwa simtom-simtom gangguan makan paling baik dipahami dengan memahami pasien dan bagaimana simptom tersebut tertanam dalam struktur keluarga yang disfungsional. Menuurut Minuchin dkk (1975 dalam Davidson, 2006 ; 364) keluarga dari anak-anak yang menderita gangguan makan menunjukkan beberapa karakteristik berikut ini :
1)      Keterikatan. Keluarga memiliki keterlibatan yang berlebihan dan keintiman dimana orangtua berbicara mewakili anak-anaknya karena yakin mengetahui pasti apa yang dirasakan anak-anak mereka.
2)      Terlalu protektif. Memiliki keperdulian ektrem terhadap kesejahteraan satu sama lain.
3)      Rigiditas. Keluarga memiliki kecenderungan untuk mempertahankan status quo dan menghindari secara efektif peristiwa yang menghendaki perubahan.
4)      Kurangnya penjelasan konflik. Keluarga menghindari konflik atau berada dalam situasi konflik yang kronis.
c.       Penanganan psikologis bulimia nervosa
Pendekatan terapi perilaku kognitif (CBT-cognitive behavior therapy) dari Fairbun (1993 dalam Davidson, 2006 ; 365) merupakan standar penanganan bulimia nervosa yang paling tervalidasi dengan baik dan paling terkini. Dalam terapi Fairburn, pasien didorong untuk mempertanyakan berbagai standar masyarakat terkait daya tarik fisik, mengungkapkan dan kemudian mengubah keyakinan yang mendorong mereka melaparkan diri sendiri untuk mencegah bertambahnya berat badan. Tujuan keseluruhan penanganan bulimia nervosa adalah mengembangkan pola makan normal (makan tiga kali sehari) (Davidson, 2006 ; 365).
Dalam beberapa studi lain, terapi interpersonal (IPT) dari Weissman dan Klerman sama baiknya dengan CBT.  Keberhasilan IPT menunjukkan bahwa setidaknya bagi beberapa pasien, pola makan yang terganggu dapat disebabkan oleh hubungan interpersonal yang buruk dan berbagai perasaan negatif terhadap diri sendiri dan lingkungan yang ditimbulkannya. Penanganan kognitif perilaku tampak lebih baik dari berbagai intervensi lain termasuk pemberian obat-obatan, masih banyak hal yang harus dipelajari untuk menangani bulimia nervosa (Davidson, 2006 ; 368).

5.      Asuhan keperawatan gangguan makan (Videbeck, 2008; 624)
a.       Pengkajian
Beberapa tes khusus dikembangkan untuk gangguan makan. Alat pengkajian seperti Tes Sikap Makan sering kali digunakan dalam penelitian anoreksia dan bulimia. Tes ini juga dapat digunakan pada akhir terapi untuk mengavaluasi hasil karena tes ini sensitif terhadap perubahan klinis.
1)   Riwayat
Sebelum berkembangnya anoreksia nervosa, pasien sering kali digambarkan sebagai orang yang perfeksionis dengan intelegensi di atas rata-rata dan berorientasi pada pencapaian, dapat diandalkan, sangat ingin menyenangkan orang lain, dan pencari persetujuan. Orang tua menggambarkan pasien sebagai anak yang “baik,tidak pernah menyebabkan masalah” sampai awitan anoreksia.
Pasien bulimia juga sering berfokus pada bagaimana menyenangkan orang lain dan menghindari konflik. Akan tetapi, pasien bulimia sering mempunyai riwayat perilaku impulsif seperti penyalahgunaan zat dan pencurian di toko, juga ansietas, depresi, dan gangguan kepribadian (Schultz & Videbeck, 1998).

2)   Penampilan umum dan perilaku motorik
Pasien anoreksia nervosa tampak lamban, letargi, dan letih; ia mungkin kurus, bergantung pada jumlah penurunan berat badan. Ia mungkin lamban untuk berespons terhadap pertanyaan dan sulit memutuskan apa yang akan dikatakan. Ia sering kali enggan menjawab pertanyaan secara lengkap, tidak mau mengakui bahwa ada masalah. Ia sering kali memakai baju yang longgar berlapis-lapis, tanpa memerhatikan cuaca, baik menutupi berat badannya maupun menjaga tetap hangat (pasien anoreksia biasanya kedinginan). Kontak mata mungkin terbatas, dan pasien mungkin menjauh dari perawat, yang menunjukkan ketidakmauan untuk mendiskusikan masalahnya atau menjalani terapi.
Pasien bulia dapat kelebihan berat badan atau kekurangan berat badan, tetapi biasanya mendekati berat badan yang diharapkan sesuai dengan usia dan ukuran tubuhnya. Penampilan umum pasien luar biasa, dan ia tampak terbuka dan mau berbicara.
3)   Mood dan afek
Pasien yang mengalami gangguan makan mempunyai mood labil, biasanya berhubungan dengan perilaku makan atau diet mereka. Menghindari makanan yang “buruk” atau makanan yang menggemukkan memberikan mereka perasaan yang kuat dan kendali terhadap tubuh mereka, sedangkan makan  berlebihan, atau pengurasan menimbulkan ansietas, depresi, dan perasaan lepas kendali. Pasien sering tampak sedih, cemas, dan khawatir. Pasien anoreksia jarang tersenyum, tertawa, atau menikmati berbagai humor; mereka muram dan serius sepanjang waktu.
Sebaliknya, pasien bulimia pada awalnya senang dan gembira, seolah-olah tidak ada yang salah. Wajah yang menyenangkan biasanya hilang saat pasien mulai menunjukkan perilaku makan berlebihan dan pengurasan, dan pasien mungkin menunjukkan emosi yang intens tentang perasaan bersalah, malu, dan memalukan.
Penting untuk menanyakan pasien yang mengalami gangguan makan tentang pikiran mencederai diri atau bunuh diri. Tidak luar biasa bagi pasien yang mengalami gangguan makan yang terlibat dalam perilaku mencederai firi seperti memotong nadi. Perhatian terhadap perilaku mencederai diri dan bunuh diri ditingkatkan pada pasien dengan riwayat penganiayaan seksual.
4)   Proses dan isi pikir
Pasien dengan gangguan makan meluangkan banyak waktu untuk memikirkan diet, makanan, dan perilaku yang berhubungan dengan makanan.mereka mengalami preokupasi dengan makanan dan usaha mereka yang menghindari makanan atau memakan makanan yang “buruk” atau “salah”. Pasien tidak dapat memikirkan tentang berat badan dan makanan.
Pasien anoreksia yang berat badannya sangat rendah mungkin mempunyai ide paranoid tentang keluarganya dan profesional perawatan kesehatan, yang meyakini bahwa mereka adalah “musuh” yang mencoba membuatnya gemuk dengan menyuruhnya untuk makan.
5)   Sensorium dan proses intelektual
Secara umum, pasien dengan gangguan makan waspada dan terorientasi, dan fungsi intelektualnya utuh. Pengecualiannya adalah pasien anoreksia yang mengalami malnutrisi berat dan menunjukkan tanda-tanda kelaparan sepert kebingungan yang ringan, proses mental yang lambat, serta sulit berkonsentrasi dan memerhatikan.
6)   Penilaian dan daya tilik
Pasien anoreksia mempunyai daya tilik yang sangat terbatas dan penilaian yang buruk tentang status kesehatannya. Ia tidak memercayai bahwa ia mengalami masalah, tetapi yakin bahwa orang lain mencoba mengganggu usahanya untuk menurunkan berat badan dan mendapatkan citra tubuh yang ia inginkan. Informasi aktual tentang status kesehatannya yang memburuk tidak cukup meyakinkannya bahwa masalah tersebut benar-benar ada. Pasien anoreksia terus membatasi asupan makanannya atau terlibat dalam perilaku pengurasan meskipun terdapat efek negatif pada kesehatannya.
Sebaliknya, pasien bulimia malu dengan perilaku makan berlebihan dan pengurasan. Ia mengakui bahwa perilaku tersebut abnormal dan berusaha keras untuk menyembunyikannya dari orang lain. Ia merasa lepas kendali dan tidak mapu mengubah perilaku tersebut meskipun ia mengakui perilaku tersebut sebagai hal yang patologis.
7)   Konsep diri
Harga diri yang rendah sangat menonjol pada pasien yang mengalami gangguan makan. Mereka melihat diri mereka sendri hanya pada kemampuan mereka untuk mengontrol asupan makanan dan berat bada. Mereka cenderung menilai diri mereka sendiri dengan kasar dan melihat diri mereka sendiri sebagai orang yang “buruk” jika mereka makan makanan tertentu atau gagal menurunkan berat badan.karakteristik atau pencapaian personal yang lain dilupanan atau diabaikan karena tidak sepenting langsing. Pasien sering merasa diri mereka tidak berdaya dan tidak berguna. Perasaan  kurang kontrol terhadap diri dan lingkungan mereka ini hanya menguatkan keinginan mereka untuk mengontrol asupan makanan dan berat badan.
8)   Peran dan hubungan
Gangguan makan mengganggu kemampuan pasien dalam memenuhi peran dan memiliki hubungan yang memuaskan dengan orang lain. Pasien anoreksia mungkin mulai tidak naik kelas di sekolahnya, yang sangat berbeda dengan penampilan akademik yang berhasil sebelumnya. Ia menarik diri dari teman sebaya dan memberikan sedikit perhatian untuk persahabatan. Ia yakin bahwa orang lain tidak akan mengerti atau takut, ia akan mulai makan tanpa terkendali di hadapan orang lain.
Pasien bulimia merasa sangat malu dengan perilaku makan berlebihan dan pengurasan. Hal ini menyebabkannya menjalani kehidupan yang rahasia, dengan diam-diam melakukan makan berlebihan dan pengurasan di belakang teman dan keluarganya. Jumlah waktu yang diluangkan untuk membeli dan memakan makanan dan kemudia melakukan pengurasan dapat mengganggu performa peran baik di rumah maupun di tempat kerja.
9)   Pertimbangan fisiologis dan perawatan diri
Status kesehatan pasien yang mengalami gangguan makan secara langsung berhubungan dengan keparahan kelaparan-diri dan perilaku pengurasan yang ia lakukan, atau keduanya. Selain itu, pasien mungkin melakukan olahraga yang berlebihan, hampir pada tingkat keletihan, dalam upaya mengontrol berat badannya. Banyak pasien mengalami gangguan tidur seperti insomnia, waktu tidur yang berkurang, dan terbangun pagi-pagi sekali. Pasien yang sering muntah mengalami banyak masalah gigi seperti kehilangan email gigi, gigi gumpil dan gerigis, dan karies gigi. Muntah yang sering sapat juga mengakibatkan luka di bagian mulut. Pemeriksaan gigi dan medis yang lengkap penting dilakukan.
b.      Diagnosa
1)      Perubahan nutrisi : kurang/lebih dari kebutuhan tubuh.
2)      Ketidakefektifan koping individu.
3)      Gangguan citra tubuh.
Diagnosa yang lain yang mungkin berhubungan , seperti kekurangan volume cairan, konstipasi, keletihan, dan intoleran aktivitas.
c.       Intervensi
Kriteria hasil :
1)   Pasien akan menetapkan pola makan bergizi yang adekuat.
2)   Pasien akan menghindari penggunaan perilaku kompensasi seperti olahraga berlebihan dan penggunaan laksatif dan diuretik.
3)   Pasien akan menunjukkan mekanisme koping yang tidak berhubungan dengan makan.
4)   Pasien akan mengungkapkan perasaan bersalah, marah, cemas atau kebutuhan yang berlebihan akan kontrol.
5)   Pasien akan mengungkapkan penerimaan terhadap citra tubuh dengan berat badan yang stabil.
Intervensi :
1)   Menetapkan pola makan yang bergizi.
a)    Duduk bersama pasien selama makan besar dan makan kudapan.
b)   Tawarkan suplemen protein cair jika tidak mampu menghabiskan makanan.
c)    Ikuti panduan program terapi yang terkait dengan pembatasan.
d)   Observasi pasien setelah makan besar dan makan kudapan selama 1 sampai 2 jam.
e)    Timbang berat badan pasien setiap hari setiap hari dengan baju yang sama.
f)    Waspada terhadap usaha menyembunyikan atau membuang makanan atau menambah berat badan.
2)   Membantu pasien mengidentifikasi emosi dan mengembangkan strategi koping yang tidak berhubungan dengan makanan.
a)    Minta pasien untuk mengidentifikasi perasaan.
b)   Pemantauan diri dengan menggunakan catatan harian.
c)    Teknik relaksasi.
d)   Distraksi.
e)    Bantu pasien untuk mengubah keyakinan stereotip.
3)   Membantu pasien menghadapi masalah citra tubuh.
a)    Kenalkan manfaat dari berat badan yang lebih mendekati normal.
b)   Bantu pasien melihat dirinya sendiri dengan cara yang tidak berhubungan dengan citra tubuh.
c)    Identifikasi kekuatan personal, minat dan bakat pasien.
4)   Memberi penyuluhan pada pasien dan keluarga.
Pasien
a)    Kebutuhan nutrisi dasar.
b)   Efek membahayakan dan pembatasan makan, diet dan pengurasan.
c)    Tujuan yang realistis tentang makan.
d)   Penerimaan terhadap citra tubuh yang sehat.
Keluarga dan teman
a)    Memberikan dukungan emosional.
b)   Menunjukkan perhatian terhadap kesehatan pasien.
c)    Mendorong pasien untuk mencari bantuan profesional.
d)   Menghindari berbicara hanya tentang berat badan, asupan makanan, kalori.
e)    Terinformasi tentang gangguan makan.
f)    Tidak mungkin bagi keluarga dan teman untuk memaksa pasien makan. Pasien membutuhkan bantuan profesional dari ahliterapi atau pskiater.
d.      Evaluasi
Alat pengkajian seperti Tes Sikap Makan dapat digunakan untuk mendeteksi perbaikan pada pasien yang mengalami gangguan makan. Anoreksia dan bulimia nervosa merupakan gangguan kronis bagi banyak pasien. Gejala sisisa seperti diet, olahraga yang kompulsif , dan ketidaknyamanan saat makan dalam lingkungan sosial biasa terjadi . terapi dianggap berhasil jika pasien menjaga berat badan dalam 5%-10% dari berat badan normal tanpa komplikasi medis akibat kelaparan atau pengurasan.
                                 







BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat penulis simpulkan antara lain adalah :
1.      Stres adalah realita kehidupan setiap hari yang tidak dapat dihindari. Stres bukan sesuatu hal yang buruk dan menakutkan, tetapi merupakan bagian kehidupan.
2.      Gangguan makan yang dialami seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor internal maupun ekternal dari individu tersebut.
3.      Perawat dapat secara profesional memberikan pendidikan kesehatan dan penanganan secara dini mengenai masalah yang menganggu kesehatan jiwa pasiennya. Melakukan pencegahan sedini mungkin untuk mesalah yang lebih meluas.

B.     Saran
Dalam makalah tugas mandiri  ini memuat informasi mengenai  aspek-aspek yang mencakup dalam kebutuhan konsep diri yang mengalami gangguan seperti adaptasi stres dan gangguan makan individu. Mungkin dalam laporan tugas mandiri ini banyak sekali terdapat kekeliruan, Penulis berharap agar pembaca dapat memakluminya karena penulis juga masih dalam tahap belajar. Serta masih banyak buku-buku referensi yang menjelaskan secara detail mengenai hal tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Davison, Gerald C. (2006). Psikologi Abnormal. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

Misnadiarly.(2007). Obesitas sebagai Faktor Risiko Beberapa Penyakit. Jakarta : Pustaka Obor popular

Suliswati. (2005). Konsep Dasar Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC
Stuart, Gail W. (2006). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Stuart, Gail W & Laraia, M.T (2005). Principles and Practice of Psychiatric Nursing. (7th Edition). St Louis: Mosby

Videbeck, Sheila L.(2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC